Senin, 06 Maret 2017

Dayak Kanayatn di Sungai Ambawang


Gambar : C. Deni Panamuan dengan busana ala Kanayatn.

Suku Dayak Kanayatn Ambawang adalah salah satu subsuku Dayak yang berpindah dari tanah asal-usul mereka di daerah Lamoanak, Lumut, dan Kaca’ di Kecamatan Menjalin dan Mempawah Hulu ke Kecamatan Sungai Ambawang, Kabupaten Pontianak.

Perpindahan tersebut terjadi kira-kira 350-400 tahun yang lalu. Keturunan mereka di Sungai Ambawang sekarang ini diperkirakan sudah empat atau lima keturunan. Mereka berimigrasi secara bertahap. Perpindahan mereka untuk pertama kalinya disebabkan oleh peristiwa ”Tambang Emas” di Kampung Lamoanak. Ceritanya, kira-kira 350-400 tahun yang lalu, orang-orang Dayak di sepanjang aliran Sungai Mampawah berada di bawah kekuasaan Patih Patinggi. Patih Patinggi ini merupakan saudara kandung dari Patih Gumantar. Pada waktu itu, sekitar Lamoanak merupakan tempat pertambangan emas yang dikelola oleh orang-orang Cina Kek atau Hakka. Orang-orang Cina selalu merekrut tenaga kerja dari tempat lain. Mereka cenderung mengabaikan tenaga kerja di sekitar tempat mereka menambang emas. Di samping itu, cara pemerolehan tanah untuk lokasi pertambangan juga cenderung memakai cara pemaksaan dan kekerasan. Belum lagi, pertambangan emas ini juga merusak lingkungan mereka. Dengan demikian, orangorang Lamoanak benar-benar terganggu. Kehidupan mereka tidak menentu. Oleh karena itu, mereka berusaha mempertahankan hak milik mereka atas tanah dan bahan tambang yang ada di dalamnya. Namun, pada masa itu mereka tidak mengetahui caranya. Mereka juga belum mempunyai persatuan dan rasa solidaritas yang tinggi. Mereka menggunakan salah satu cara yang hanya diketahui oleh mereka sendiri, yaitu mencoba menakut-nakuti orang-orang Cina di pertambangan emas tersebut dengan cara menjadi hantu. Mula-mula mereka memakai topeng dengan coreng-moreng di wajah mereka. Trik lainnya adalah melumuri tubuh mereka dengan getah kayu dan kemudian berlarian di bunga-bunga ilalang. Tentu saja hal ini membuat tubuh mereka menjadi berbulu putih seperti hantu. Begitu orang Cina berlarian ketakutan, maka emasnya diambil. Lamakelamaan, ketahuanlah taktik orang Lamoanak ini.

Singkat cerita, orang-orang Cina kemudian mengadakan pesta besar untuk membalas dendam. Mereka mengundang orang-orang Lamoanak untuk berpesta makan dan minum. Minuman yang disajikan adalah minuman yang beralkohol. Begitu orang Lamoanak mabuk arak dan teler tak berdaya, maka dengan mudah mereka di potong. Namun ada juga yang sempat selamat melarikan diri. Dalam pelarian ini, mereka sampai di sebuah sungai. Ketika mereka sampai di sungai ini, mereka menjumpai sebuah kelapa hanyut terbawa air. Kelapa ini diambil kemudian dikupas. Kemudian ada yang bertanya, ”Lemae malah ia?” yang artinya ”Bagaimana membelahnya?” Sejak saat itulah sungai itu disebut Sungai Malahia. Pendatang pertama inilah yang dinamakan Ambawang 20. Ada juga yang disebut Ambawang 40, yaitu mereka yang berpindahan pada saat tahap berikutnya. Perpindahan selanjutnya dikenal dengan nama Ambawang 40.

Ceritanya, sesudah orang-orang Cina berselisih dengan orang-orang Dayak, sebagian orang Dayak yang masih bertahan meminta pendapat dari Patih Patinggi untuk mendamaikan dan menyelesaikan masalah tersebut. Dibuatlah perdamaian. Ada keinginan dari orang Dayak untuk mendapatkan wilayah yang baru. Apalagi, disertai keberhasilan perantauan pendahulu mereka maka gelombang perpindahan ke wilayah Ambawang terus bertambah. Perpindahan terkini, kemudian dilakukan oleh orang-orang Banyuke (Menyuke) dari wilayah Darit seperti Kampung Mame’, Bagatukng, dan sekitarnya. Kepindahan mereka dikarenakan terbakarnya rumah panjang tempat mereka tinggal. Ada juga perpindahan dari wilayah hulu melewati daerah Pahauman, Samih, Sakilap, dan Sabadu. Bahkan ada juga perpindahan orang-orang Dayak dari Sanggau Kapuas. Perpindahan mereka ini dipicu oleh semaraknya eksploitasi hutan lewat perusahaan-perusahaan kayu yang memperoleh hak atas pengelolaan hutan dalam bentuk HPH sekitar tahun 1960-an. Sehingga tidak heran kemudian terdapat orang-orang Ribun dan Banyadu’ di wilayah ini. Wilayah penyebaran subsuku Dayak Kanayatn Ambawang terdapat di beberapa kampung di Kecamatan Sungai Ambawang. Namun kampung-kampung tersebut sudah bercampur dengan orang-orang Madura, Jawa, dan Cina. Adapun Kampung-kampung tersebut adalah Duriatn, Sia’, Sadong, Pongo’, Pasa, Bungkarek, Pasak Piang, Cabang Kiri, Sunge Jawa, Teluk Dalam, Korek, Lingga Dalam, Lingga Tengah, Lingga Baru, Pancaroba, Sangku’, Sairi, Tapah, Banga, Kuala Bakukng, Loncek, Bakukng, Lais, Lintang Batang, Jarikng, Bawas, Banuah, Pabuisatn, Ritok Acin, Kubu Padi, Ritok Babente’, Mamparigakng, dan sekitarnya. Mereka menuturkan bahasa Banana’-Ahe. Orang Kanayatn ini juga terdapat di Kecamatan Sungai Raya. Mereka yang di Sungai Raya ini merupakan salah satu dari subsuku Dayak yang meninggalkan tanah asal-usul mereka di daerah Mempawah Hulu dan bermukim di Kecamatan Sungai Ambawang. Selanjutnya mereka mencari daerah baru untuk tinggal. Ada yang berpindah karena kerja kayu dengan merimba hutan. Ada juga yang sengaja mencari tempat tinggal yang baru. Bahasa yang dituturkan oleh suku Dayak ini adalah bahasa yang berasal dari tanah asal-usul mereka yaitu bahasa Banana’ atau juga disebut juga bahasa Ahe. Orang Dayak yang tinggal di Kecamatan Sungai Raya, sekarang ini terdiri dari beraneka ragam subsuku, seperti misalnya orang Hibun, Banyuke, Mali, dan Mampawah dari Sungai Ambawang. Wilayah penyebaran mereka terdapat di kampung-kampung Dayak yang ada di Kecamatan Sungai Raya. Di antaranya adalah Kampung Kalimpo’, Teluk Enggeris, Tanjung Sapi, Tanjung Lalang, dan Gunung Tamang. Suku dan bahasa Dayak dengan berbagai variasi, seperti Banana’/Ahe atau Kanayatn, Hibun, Mali, dan Banyuke di Kecamatan Sungai Raya menyebar mengikuti perpindahan Subsuku Dayak yang mendiami wilayah Ambawang. Suku Dayak Ambawang yang pindah ke Kampung Gunung Tamang lamanya sudah mencapai tiga hingga empat turunan.

Jadi, perpindahan mereka kira-kira pada tahun 1700-1800 Masehi. Suku Dayak di Sungai Ambawang, Gunung Tamang, dan Hibun pindah ke Kampung Kalimpo’, Tanjung Sapi, Teluk Enggeris, dan Tanjung Lalang pada tahun 1947-1963. Perpindahan mereka karena bekerja di perusahaan kayu PT. Aria dan ada juga yang bekerja sebagai pekerja kayu dengan modal sendiri. Tokoh Dayak Hibun yang dianggap sebagai kepala rombongan Dayak Hibun adalah Pak Okeng. Jumlah suku Dayak di wilayah ini tidak diketahui secara pasti akibat regrouping desa. Namun ada informasi bahwa di Kampung Kalimpo’ terdapat 70 kepala keluarga. Sementara itu, di Kampung Gunung Tamang terdapat 1.502 jiwa dengan jumlah laki-laki 781 orang dan perempuan 721 orang.



Sumber Berita: www.kebudayaan-dayak.org



Tidak ada komentar:

Posting Komentar