Oleh: Simon Takdir
A. Latar Belakang
Pengambilan sebuah nama untuk sebuah etnis merupakan suatu hal yang penting dalam kehidupan manusia sebagai makhluk sosial. Manusia sebagai individu atau sebagai kelompok dalam kehidupannya dapat membedakan dirinya sendiri atau kelompoknya dari individu atau kelompok di luar dirinya karena adanya perbedaan. Dengan kata lain, manusia mengenal dirinya sendiri karena adanya sebuah pembeda. Segala sesuatu objek yang ada disekitarnya masing-masing memiliki pembeda. Pembeda ini selanjutnya dikenal dengan nama identitas. Manusia memiliki banyak ragam identitas pribadi dan kelompok (selanjutnya disebut etnis) yang membedakannya dari yang lain sehingga dia atau kelompoknya dapat diidentifikasi. Identitas ini secara umum antara lain dapat berupa nama diri, nama suku, budaya, bahasa, pekerjaan, dan sebagainya
Nama sebuah suku – dimana individu itu berada dan sekaligus menjadi identitas dirinya – bagi sebuah kelompok masyarakat sangat penting sampai akhir hayatnya terutama sekali dalam aktivitas dan interaksinya sebagai makhluk sosial. Dengan identitasnya yang jelas, seseorang dapat mengenal dan menyatakan siapa dirinya atau kelompoknya dengan pasti – tanpa ragu-ragu. Begitu pentingnya identitas dalam kehidupan manusia sehingga tidaklah mengherankan kalau orang Yunani dan Romawi kuno dalam kebudayaan dan filsafatnya menganjurkan dan bahkan memerintahkan : COGNOSCE TE IPSUM ! Kenallah dirimu sendiri ! (Dhakidae 1979). Sebaliknya, sebuah suku yang tidak memiliki nama sebagai identitas selanjutnya akan mendatangkan malapetaka bagi suku tersebut karena “dia” sulit dan gagal untuk digolongkan apakah termasuk dalam kelompok manusia dan bahkan akan mendapat sanksi masyarakat dengan kalimat : Tidak tahu diri.
Apakah nama untuk sebuah suku itu dapat diambil secara terburu-buru dan langsung dilebelkan begitu saja agar terhindar dari kegagalan mengumumkan siapa dirinya ?
Pertanyaan ini menggelitik saya karena adanya sebuah phenomenon yang berhubungan dengan pertanyaan itu yang muncul di tengah masyarakat Dayak pantai, Kalimantan Barat. Kehadiran dualisme nama yang kontroversial terhadap sebuah suku Dayak yang sama sistim sosiokulturalnya – infrastruktur, struktur dan suprastrukturnya (ISS) – yaitu nama Salako dan Kanayotn, telah membuat kelompok masyarakat Dayak pantai tersebut bingung.[1] Nama mana yang benar untuk suku mereka ?
Nama Kanayotn secara historis dan Emik – khususnya bagi informan yang mobilitasnya rendah – merupakan nama untuk etnis tetangga dari suku Dayak yang tadinya menyebut dirinya suku Salako. Kedua kelompok suku – Salako dan Kanayotn – yang hidup berdampingan yang “ancestral domain”-nya dibatasi oleh sungai dan jalan ini secara linguistis dan praktik religiusnya berbeda. Kelompok masyarakat Dayak yang berbahasa ibu bakati’ dan banyadu’ dulunya, terutama sebelum tahun 1980-an menyebut diri mereka orang Kanayotn, dan bahkan hingga sekarang. Inilah data Emik yang tidak harus diabaikan.
Nama untuk sebuah suku yang sama secara ISS – terutama di bawah tahun 1980-an – bukanlah menjadi hal yang penting. Pada saat itu pembangunan di Kalbar dalam segala hal belum sebaik seperti sekarang ini. Mobilitas penduduk dan informasi yang menyebabkan terjadinya interaksi dan kontak budaya yang tinggi antar etnis-etnis di Indonesia masih sangat rendah dan terbatas. Akibatnya nama yang memang sudah ada untuk setiap etnis itu secara pelan-pelan tidak dihiraukan dan tidak sampai pada generasi yang berikutnya. Proses inkulturasi terhenti untuk hal ini.[2] Dengan kata lain, pada saat itu nama suku sebagai identitas bagi Dayak pantai tidaklah penting, bahkan mereka agak malu-malu untuk mengaku diri sebagai Dayak. Waktu itu nama-nama suku yang biasa terdengar adalah suku (orang) Iban, suku (orang) Punan. Suku (orang) Kanayotn untuk menamai mereka yang berbahasa bakati’ dan banyadu’ dengan ciri khas mengkonsumsi daging anjing.
Mereka yang berdialeg badameo ini secara historis memang berasal dari Salako Tua, daerah Sarinokng, dan Pulo Nangko, namun belum menyebut diri mereka Dayak Salako. Walaupun ada yang menyebut diri mereka Dayak Salako, nama itu belum begitu populer di Indonesia. Sebaliknya nama itu sudah sering digunakan dan ditulis oleh peneliti asing.[3] Suku Dayak ini – sama halnya dengan suku Dayak lainnya – lebih suka disebut berdasarkan nama tempat tinggalnya, misalnya orang Saopo, orang Bagak, dan seterusnya. Penyebutan nama seperti itu berlangsung ketika terjadi komunikasi antar sesama Dayaknya. Mereka – dalam komunikasi mereka dengan non-Dayak – tetap menyebut dirinya Dayak – yang oleh orang Cina disebut La Nyin (orang pedalaman), atau La Ci Nyin yang sekarang ada kecendrungan menyebutnya Ko San Chuk (orang pegunungan). Namun, seringin dengan perputaran waktu dan perubahan ruang, sekarang ini nama suku menjadi hal yang penting dalam kehidupan sosial ini.
Berangkat dari fenomenon tersebut – pentingnya nama sebuah suku sebagai identitas dan untuk mengklarifikasi dualisme nama yang muncul sekarang ini – saya mencoba menyodorkan pendapat saya – berdasarkan persamaan SIS – tentang kelompok Dayak pantai Kalimantan barat ini.
B. Siapakah suku Dayak Salako itu ?
Menurut teori Kern dan teori von Heine Geldern (Soekmono, 1990) bangsa Indonesia – demikian juga Suku Dayak Salako – termasuk keturunan bangsa Austronesia[4]. Sebelum bermigrasi ke Indonesia pada jaman mesolitikum (jaman batu pertengahan) di daratan Asia telah terjadi percampuran antara bangsa Kaukasus (Europaeide) dan bangsa Mongol (Mongolide). Percampuran ini melahirkan bangsa Austronesia (ras atau bangsa Melayu)[5] yang menurunkan langsung bangsa Indonesia secara umum. Bahasa mereka disebut bahasa Austronesia, dulu disebut bahasa Melayu-Polynesia (Soekmono, 1990). Bahasa-bahasa yang digunakan penduduk asli Kalimantan digolongkan ke dalam Bahasa Melayu Polynesia Barat, seperti yang dinyatakan oleh King (1993), yaitu:
“The languages of Borneo are generally classified as Western Malayo-Polynesian,
originating from Proto-Malayo-Polynesian, which developed in the Philippines and
divided from Formosan, both of which, in turn, had emerged from an original Proto-
Austronesian language in Taiwan.”
Dengan kata lain dapat dilukiskan bahwa nenek moyang bangsa Indonesia berasal dari Yunan, yaitu suatu tempat di Cina bagian selatan pada hulu sungai Mekong. Karena sesuatu hal yang tidak diketahui secara pasti, mereka pindah ke arah selatan menuju India belakang (daerah Siam dan Indo Cina). Di sini terjadi pembauran itu (Kaukasus dan Mongol) yang selanjutnya melahirkan bangsa Melayu dan yang kelak menurunkan orang-orang Indonesia.
Kemudian antara 3000=1500 tahun sebelum Masehi - pada jaman yang kita kenal sebagai jaman Neolitikum (Wojowasito, 1957) – mereka segerombol demi segerombol meninggalkan India Belakang menuju kepulauan di sebelah selatan Asia. Kepulauan di sebelah selatan Asia ini disebut Austronesia yang selanjutnya menjadi
tanah air mereka – nenek moyang bangsa Indonesia (Loebis, 1972). Kelompok yang bermigrasi pada sekitar tahun tersebut dinamakan Proto Melayu (Melayu Tua).[6]
Ciri-ciri budaya bangsa Austronesia (Slametmuljana, 1989) yang masih tampak dan saya alami pada budaya Dayak Salako, antara lain :
1. Tidak suka minum susu pada waktu makan.
2. Gemar makan ikan yang dibusukan (jaruk dan bonto’).
3. Mempunyai adat memotong kepala (bakayo) seperti bangsa Kuki, Naga dan Garo di pegunungan Assam.
4. Suka melapis gigi dengan emas (angkero/sunggi’).
5. Tinggal di rumah barak yang terdiri dari pelbagai keluarga (bantang).
6. Rumah-rumah didirikan di atas tiang, bukan karena tanahnya becek.
7. Pelubangan daun telinga yang terlalu lebar (jarang dilakukan oleh kaum priya, namun secara umum oleh kau wanita saja). Lubang lebar itu sebagai akibat dari beban buah anting-anting yang berat serta lamanya beban itu pada daun telinga. Perempuan Salako yang lubang daun telinganya besar terjuntai ke bawah yang terakhir saya saksikan adalah Nek Kudian orang Sarinokng yang pindah ke Bagak.
8. Suami termasuk dalam keluarga istri (dalam masyarkat Salako antara saudara dan kerabat pihak istri dan suami menggunakan kata sapaan isotn/ise’/isatn, dan antara orang tua serta kerabat dari kedua belah pihak menggunakan kata sapaan imat).
9. Menyapa suami dan istri dengan nama anaknya yang tertua (parapo’otn).
10. Dalam menghitung menggunakan kata bilangan bantu seperti ekor, orang, belah dan sebagainya.
Selain ciri-ciri tersebut di atas, ciri lain yang merupakan kebiasaan suku Dayak Salako jaman dulu sebagai warisan budaya dari nenek moyangnya bangsa Autronesia adalah mengkremasikan jenasah orang yang sudah meninggal, yakni dengan membakarnya. Hal ini dinyatakan oleh King (1993),
“…… Bornean practices of cremation were usually presumed to indicate Hindu-Indian
influences, while we now know that cremation was a very early Austronesian cultural
form in Borneo, and a fairly recent one in India.”
(Praktek pembakaran jenasah oleh orang Kalimantan umumnya dianggap untuk menunjukkan pengaruh Hindu-India, padahal sekarang kita tahu bahwa pembakaran itu adalah bentuk budaya Austronesia yang sangat awal di Kalimantan, dan bentuk yang sangat belakangan di India).
Lahan atau tempat pembakaran jenasah itu disebut patunuan.[7] Walaupun sekarang ini jebasah tidak dikremasikan lagi, tempat mengubur jenasah (kuburan) tetap disebut patunuan, bukan pasuburotn.
Menurut Stanley Karnow (1964) peta perjalanan migrasi bangsa Austronesia dari daratan Asia menuju pulau Kalimantan dan kepulauan Indonesia lainnya melalui semenanjung Malaka. Mereka yang menuju Kalimantan Barat barangkali ada yang memasuki muara sungai Sambas dan Salako. Kelompok yang memasuki sungai Sambas kemungkinan besar bermukim di kaki bukit Senujuh di kawasan sungai Sambas besar. Di kawasan ini di kemudian hari pernah berdiri kerajaan Sambas sekitar tahun 1291 (Ahmad dan Zaini, 1989) dengan rajanya tanpa bergelar Sultan dan rakyatnya masih menganut agama tradisional dan Hindu. Apakah mereka ini merupakan keturunan dari kelompok yang bermigrasi itu ?
Jauh sebelum bangsa Austronesia bermigrasi ke kepulauan Indonesia, antara lain ke Kalimantan, kepulauan Indonesia sudah ada penduduknya yaitu bangsa Weddoide dan bangsa Negrito (Wojowasito, 1957). Mereka mendiami kepulauan Indonesia sejak prasejarah dan kebudayaan mereka dinamakan kebudayaan Paleolitikum (Loebis, 1972), kebudayaan batu tua, karena mereka belum mengenal pemakaian logam. Penduduk lama ini (Weddoide dan Negrito) telah lenyap sama sekali dari Indonesia (Wojowasito, 1957).
Kelompok Austronesia yang bermukim di kaki bukit Senujuh ini, karena jumlahnya kecil, akhirnya hilang karena ditaklukan dan berbaur dengan penduduk yang lebih dulu datang ke daerah itu. Pembauran ini melahirkan nenek moyang suku yang disebut suku Kanayotn atau Raro dengan ragam-ragam bahasa mereka yaitu ba kati’, ba nyam, dan ba nyadu’. Para penutur dari ketiga ragam ini masih saling mengerti ketika mereka berkomunikasi dalam ragam mereka masing-masing (mutual intelligibility). Walaupun pembauran telah terjadi, ciri-ciri budaya dari keduanya masih tampak. Misalnya, budaya Austronesia pada suku ini adalah mengayau, tinggal di bantang, dan sebagainya. Budaya Austronesia masih tetap dominan karena adanya kontak budaya dengan kelompok Austronesia lainnya. Warisan Weddoide yang masih bertahan adalah menjadikan hewan anjing sebagai hewan sembelih dan kurban pada Jubato (dewa). Ini terjadi karena pada waktu itu banyak anjing hutan yang liar yang hidup di daerah ini. Binatang ini menjadi hewan buruan yang mudah bagi kaum Weddoide yang masih memiliki peralatan dari batu.
Warisan Weddoide lainnya yaitu pada umumnya lokasi pemukiman suku Kanayotn ini selalu di atas, atau di hulu pemukiman kelompok Austronesia, namun tidak begitu jauh letaknya. Pada umumnya dibatasi oleh sungai, bukit atau rimba. Bagaimanapun juga suku ini masih keturunan dari Austronesia.
Menurut informan bahwa Kanayotn itu berada di sebelah sana sungai atau jalan. Maksudnya yaitu suku Kanayotn berada di sebelah utara sungai Salako, di daerah Kinane, Subah dan sebagainya, atau di sebelah utara jalan raya, atau di wilayah sebelah utara dari wilayah kelompok Austronesia. Barangkali ini sejalan dengan kata Sansekerta/Kawi (Prawiroadmojo, 1981), yaitu Kanayotn berasal dari kata Kana + yana, atau Kana + yani. Kana : sana, yana : jalan, yani : sungai. Jika benar, apakah secara etimologis nama Kanayotn berasal dari kata tersebut di atas, yaitu suku yang tinggal di sebelah sana jalan atau sungai ?[8]
Kelompok Austronesia yang lain yang jumlahnya lebih besar memasuki muara sungai Salako (Saako). Di Salako ini ada bukit yang namanya Sarinokng (bhs. Melayu: Selindung). Mereka memilih bukit Sarinokng dan Pulo Nangko sebagai tempat bermukim mereka. Pada waktu itu bukit Sarinokng ini adalah pantai. Namun adanya proses alam maka timbul daratan baru yaitu kota Selakau sekarang. Sarinokng yang dulu berada di pantai kini berada jauh dari pantai. Sarinokng ini selanjutnya disebut Salako Tuho dan yang baru disebut Salako mudo’.
Nama Salako itu sendiri mungkin berasal dari Saak Ako. Konon di sana dulu banyak anjing hutan yang besar yang disebut asu’ ako. Masyarakat sering mendengar salaknya baik siang maupun malam. Karena anjing hutan ini mengganggu kehidupan masyarakat, binatang ini dimusnahkan begitu saja oleh mereka. Orang Austronesia ini tidak mau makan anjing.
Orang Austronesia menganggap anjing adalah binatang sial. Alam supernatural tidak mau berteman dan memberikan kekuatan magis pada orang yang makan daging anjing sebab badannya sudah kotor. Kesempatan untuk menjadi tukang belian, pamarani atau orang sakti hilang jika yang bersangkutan makan daging binatang itu. Selain itu, arwah orang meninggal yang hendak menuju Subayotn harus melalui tujuh pararangan, yaitu Titi Bajoo, Titi Bagoro’, Tajur Manimang, Padokng Maabo (banyak anjing besar dan ganas), Nangko Rayo (Puai’ Elo), Bae Gamokng (pasar tempat orang berjudi), Subayotn (tempat jiwa orang baik yang sudah meninggal). Orang Austronesia ini percaya bahwa orang yang makan daging anjing jiwanya akan dikejar dan disiksa oleh anjing-anjing di Padokng Maabo ini. Karena itu, ketika masih di dunia keturunan Dayak Salako dilarang memakan daging anjing. Orang Salako yang makan daging anjing sekarang ini setelah mereka kontak dengan suku-suku Indonesia lainnya seperti Cina, Batak, Ambon, Manado, Dayak Kanayotn dan sebagainya.
Kawasan anjing hutan yang biasa menyalak itu selanjutnya disebut mereka Saako (ucapan bhs. Saako pada umumnya menghilangkan fonem : /l/ dalam Sa(l)ako ). Nama ini selanjutnya digunakan untuk menyebut nama wilayah, nama sungai, nama suku, dan nama bahasa penduduk yang mendiaminya.
Orang Austronesia yang mendiami kawasan Saako inilah yang menurunkan suku Dayak Salako yang dikenal saat ini. Bukti adanya pemukiman di daerah Sarinokng ini diperoleh dari cerita lisan yang selalu disampaikan oleh orang tua secara turun-temurun. Selain itu di sekitar daerah ini masih ditemukan pohon buah-buahan yang sudah tua, misalnya pohon durian, cempedak, asam Kalimantan, dan lain-lain serta tempat pemujaan (tempat keramat) yang disebut Padagi/Panyugu[9] yang sudah tidak terurus, pecahan-pecahan keramik yang tersebar di lokasi bekas bantang, tepian mandi dan tempat keramat. Tambahan pula, di lokasi bukit Sarinokng ini ditemukan sebuah Nekara[10] pada bulan Mei 1991 yang kini disimpan di Museum Negri Pontianak. McKinnon (1991) menyatakan bahwa:
“Finds of sherds of coarse ‘prehistoric’ paddlemarked and basket-impressed
earthenware in and around an area of white sand at the foot of Bukit Selindung
maybe an indication of an early settlement in the area, though not necessarily
one with any connection with the drums – the criteria for such a settlement site
would appear to be met – an area of firm dry land upstream from the coast but with
riverine access to the sea, with a source of potable water (the stream from the hill)
and at one time an abundance of building materials and food resources – estuarine
fish, shell fish and other equatic life.”
C. Penyebaran Suku Dayak Salako[11]
Setelah beberapa lama tinggal di Sarinokng dan Pulo Nangko, beberapa orang dari mereka berusaha lagi pindah mencari daerah baru. Perpindahan ini dapat disebabkan oleh beberapa hal, antara lain, atas kemauan sendiri, karena lokasi ladang, karena konflik dalam komunitas.
Ada kelompok yang pindah ke Pemangkat. Menurut ceritanya Pemangkat berasal dari nama seorang pemimpin kelompok ini yaitu Ne’ Mangkat. Kelompok ini yang pertama kali membuka daerah ini. Keturunan kelompok ini selanjutnya ada yang pindah dengan menelusuri sungai Sabangko hingga ke daerah yang sekarang disebut Paranyo (dalam bhs. Melayu: Pelanjau). Mereka mendirikan bantang mereka di sini.
Kemudian, beberapa kelompok pindah lagi dengan menelusuri hulu sungai Salako. Ada yang menelusuri sungai Sangokng dan naik di Nek Balo, terus ke Nek Date’, Potekng, Pajintotn, Sango, Pakunam, Samarek, Pasi dan seterusnya. Namun ada juga yang naik di Bariakak dan terus ke Sahowo’, Bagak, Pasar, Sanorekng, Ranto, Sakong dan sebagainya. Orang Saopo asalnya orang Bagak.
Selanjutnya, ada yang terus mudik dan naik di Timawokng Abo’ dan pindah ke Puaje. Orang Bantang Sahowo’ pernah pindah ke Puaje. Perjalanan menelusuri sungai Salako yang berhulu di Bukit Bawokng (gunung Bawang ) telah menghantar kelompok orang Dayak Salako yang lain ke Lao, daerah Serukam. Dari sini meyebar ke daerah Sawak, Gajekng, Gado’, Pakana dan sekitarnya.
Perpindahan orang-orang Salako di Sarinokng dan Pulo Nangko terus berlanjut hingga akhirnya bantang bukit Sarinokng itu kini menjadi kosong – menjadi timawokng (tembawang). Namun, suku Dayak Salako di Binuo Garantukng Sakawokng dan Binuo Sango Sakawokng masih tetap mengingat asal-usul nenek moyang mereka dari tempat tersebut.
Dalam pembentukan organisasi kepemerintahan di kemudian hari (jaman Belanda/Sultan Sambas) terdapat pembagian wilayah kekuasaan (ancestral domain) dengan istilah Wilayah Sawak, dan Gajekng. Sawak terbagi dua yaitu Sawak Hulu (Apikng, Bamban Rancang, Batokong, Gumbang, Nyandong, Serong, dan Sawak Hilir (Sapatukng, Godang Damar, Salangko <Mendung Terusan>, dan Kincir. Wilayah Gajekng dan Gado’ adalah bagian kanan jalan menuju arah Bengkayang, misalnya Sangkinahu’ , Poongan, Maaba’e, Caokng dan sebagainya.
Wilayah lainnya adalah Garantukng Sakawokng[12] (Puaje,Pasar/Pak Kucing[13], Sanorekng, Ranto, Parento’/Saopo, BagakSahowo’, Nyarongkop/Ne’ Usun/Kamar, Potekng/Pajintotn, Ranto, Sibaju dan Paranyo) dan Sango Sakawokng (Sango, Gare, Pakunam, Pasi, Sakong,)[14]. Batas Garantukng Sakawokng dan Sango Sakawokng adalah Pentek (Tirtayasa). Batas Garantukng Sakawokng dengan Sawak Hilir adalah kampung Puaje (Jembatan dekat simpang Mantarado’).
Ada kelompok lain lagi yang berasal dari Lao pindah hingga Pakana (Karangan). Inilah nenek Moyang orang Salako yang menurunkan mereka yang berbahasa ba ahe dan banana’. Selanjutnya terjadi penyebaran ke berbagai wilayah di kabupaten Pontianak dan Landak dengan berbagai macam isolek (dialek dalam bahasa serumpun).
D. Dasar Pemikiran bahwa baahe/bajare/banana’/bangape juga Dayak Salako
Premis bahwa yang berdialek baahe/bajare/banana’/bangape adalah Dayak Salako antara lain persamaan antara praktek agama tradisional, bahasa, dan senjata perang.
1. Agama Tradisional dan Adat
Praktek agama tradisional antara wilayah pembagian Kabupaten yang dulu yaitu Kabupaten Sambas dan Kabupaten Pontianak adalah sama secara umum. Misalnya, mithos nek Kulup, kosa-kata untuk perangkat persembahan (Nyangahotn) misalnya, tumpi’ poe’, bontokng, apar, buis, pabayo, pantak, soor (solor), dan tempat-tempat mitis seperti bukit Bawokng, Nek Bancino Tanyukng Bungo. Kedua tempat mitis ini berada di Kabupaten Sambas – bukit Bawokng di daerah Bengkayang dan Tanyukng Bungo di daerah bukit sungai Raya/Pasir Panjang.[15]
Secara umum dapat diamati bahwa praktek adat (hukun adat dan adat-istiadat) antara kelompok ba’ahe dan badameo adalah sama. Persamaan umum ini telah menunjukkan kebenaran dari premis di atas. Adapun perbedaan kecil yang lain, misalnya menggunakan anjing sebagai hewan persembahan merupakan assimilisi (akulturasi) antara Kanayatn (bakati’) dengan Salako yang mana tempat pemukiman kedua komunitas itu berdekatan.
2. Bahasa
Secara isoglos (garis yang menghubungkan persamaan dan perbedaan kosa kata dalam bahasa serumpun) menunjukkan bahwa bahasa baahe/banana’ dan bahasa badameo/bajare adalah berasal dari satu rumpun. Secara umum kosa kata adalah sama namun perbedaan ucapan dan beberapa kosa kata lainnya karena hasil dari penyesuaian terhadap lingkungan. Ketika para penutur berkomunikasi dalam dialeknya masing-masing, komunikasi dapat berlangsung dengan baik karena mereka masing-masing dapat saling mengerti (mutual intelligibility) Saya membagi bahasa Salako ini menjadi tiga ragam dialek (isolek) yaitu:
1. Dialek Badameo jare atau Badamea jare dengan wilayah penutur Binuo Sango Sakawokng, Binuo Garantukng
Sakawokng, Binuo Bantanan, dan Wilayah Malaysia Timur (Biawak, Sebiris, Poe, dan seterusnya)
contoh:
Dameo jare (bahasa Indonesia : apa katanya ), penuturnya : Sango Sakawokng dan Garantukng
Sakwokng
Damea jare (bhs. Indonesia : apa katanya), penuturnya : Bantanan dan Malayasia Timur
Penutur dengan dialek ini biasa disebut Dayak Salako Badameo
2. Dialek Ahe/jare[16] dengan wilayah penutur yang berada di antara wilayah dialek no. 1 di atas dan
wilayah dialek no. 3 di bawah, yaitu wilayah Sawak dan Gajekng. Saya menyebutnya dialek Transisi.
contoh:
Ahe jare (bahasa Indonesia : apa katanya)
Penutur dengan dialek ini biasa disebut Dayak Salako Ba ahe jare.
3. Dialek Ahe/janya dengan wilayah penutur Mempawah hulu/Sa'iri, Ambawang, binua Ipuh, Sangah, Manyuke.
Penutur dengan dialek ini biasa disebut Dayak Salako Ba ahe.
3. Senjata Bakayo
Alat yang digunakan untuk bakayo (headhunting) oleh komunitas-komunitas yang berdialek badameo/bajare/bajanya sama yaitu Tangkitn dan Bolekng (dalam dialek badameo: Boekng), bukan mando (mandau). Boekng atau Bolekng (tombak yang ujungnya terbuat dari besi dan gagangnya dari kayu) biasa juga disebut tampoleng/tampolekng oleh penutur dalam semua dialek di atas. Ceritera rakyat dari Mempawah Hulu (Kaca’ dan Tiakng Tanyukngs) – lokasi penelitian Pastor Donatus Dunselman Ofm Cap.- menceritakan :
“Sarata nya ninyak tanah di Mani Amas lalu bakata Leo Baja:”Dusaku”.
sambil nya ngalansaratn bolekngnya. Mani Amas nyingkubakng talu kali,
udah koa nya mabut tangkitnnya.” (Begitu Mani Amas menginjakkan kakinya
ke tanah, lalu Leo Baja berkata,”Dusaku”, sambil dia melayangkan tombaknya.
Mani Amas melompat (salto) tiga kali, setelah itu dia mencabut tangkitnnya).
Tangkitn (lihat catatan kaki hal. 14) adalah sejenis parang yang hanya digunakan khusus untuk bakayo. Selain itu biasa juga digunakan dalam upacara-upacara ritual lainnya seperti upacara pengobatan yaitu baliatn (baiotn), badukun/balenggang. Parang yang digunakan untuk pekerjaan sehari-hari disebut iso’ (gagangnya dibuat dari kayu). Karena itu ada pantun kilat dalam masyarakat Mempawah Hulu yang ditulis oleh Pastor Donatus Dunselman yaitu:
Lain iso’ lain tangkitn (Lain iso’ lain tangkitn)
Lain doho’ lain angkitn (Lain dulu lain sekarang)
Adanya tiga hal yang sama di atas menunjukkan bahwa mereka itu berasal dari satu titik sentral sebagai tempat asalnya, yaitu dari daerah Salako (austronesia) di Kabupaten Sambas. Adanya sedikit perbedaan dalam praktek agama tradisional dan bahasa (isolek) karena hasil proses adaptasi terhadap lingkungan serta kontak budaya (akulturasi) dengan dunia luar.
Kontak Budaya dengan dunia luar telah terjadi antara daerah Pakana (Karangan) di Mempawah Hulu dengan Kerajaan Majapahit pada pertengahan tahun 1300 M. Ketika itu Hayam Wuruk (1350-1389) naik takhta yang dibantu oleh patihnya Gajah Mada dan membawa Majapahit ke jaman keemasan. Perluasan daerah terjadi sampai ke Kalimantan Barat yaitu kerajaan Sidiniang di Karangan. Di sini ditempatkan seorang penguasa kerajaan Majapahit yang bergelar patih yaitu Patih Gumantar.
Patih Gumantar segera menerapkan bentuk organisasi kepemerintahan Majapahit misalnya ada Temenggung dan Kebayan dan sebagainya yang bertugas membantu kelancaran kepemerintahannya di pedesaan. Bentuk organisasi ini akhirnya diadopsi dan mengakar pada masyarakat lokal di desa dan tetap dipertahankan hingga sekarang di bekas pengaruh kerajaan Sidiniang ini. Patih Gumantar dalam mengenang Raja pendiri Kerajaan Majapahit, Raden Wijaya yang bergelar Kertarajasa Jayawardana (1293-1309) memberi nama putrinya Dara Irakng (Dara Hitam)[17].
Kartarajasa selain menikahi empat orang putri Kertanegara (Raja Singosari) juga menikahi Dara Jingga yang bergelar Sjri Indresjwari, seorang putri dari kerajaan Malayu yang dibawa panglima kerajaan Singosari sebagai upeti. Pada waktu itu secara hipotesis telah terjadi pengaruh ucapan bahasa dan kosa kata dari bahasa Kawi (jawa kuna) ke bahasa daerah setempat. Misalnya:
Bhs. Kawi Dialek Ahe/Janya Dialek Dameo/Jare Bhs.Indonesia
1. Pahoman pahauman parauman tempat sidang
2. Walu balu bau duda
3. Tineget/tenget teget teget tolak
4. Marga maraga marago jalan
5. Walyan baliatn baiyotn belian
6. Sunsang sunsakng sunsokng kepala ke bawah
Daerah Kabupaten Sambas (kabupaten yang dulu) mempunyai dialek dengan fonem /o/ dalam contoh 4 dan 6. Dialek ini muncul karena barangkali pengaruh kerajaan Sriwijaya di Palembang lebih kuat. Dialek tersebut lebih mirip dengan bahasa Palembang, misalnya: ngapo (ngapa), kamano (kemana), dst.
E. Siapa suku Dayak Kanayotn itu ?
Menurut orang tua-tua dahulu, dan bahkan menurut orang yang berbahasa bakati’ sendiri bahwa Dayak Kanayatn itu adalah mereka berbahasa bakati’, banyadu, bainyam, dan dialek serumpun lainnya. Kalau kita bertanya pada orang-orang tua di kampung yang berdialek dameo/jare/ahe/janya tentang siapa orang Kanayotn itu, mereka akan menjawab bahwa Kanayotn itu adalah orang yang berbahasa bakati’/banyadu’ (tentu ada cerita lain lagi di samping itu). Proses pengambilan nama oleh Dayak Salako kabupaten Pontianak (kabupaten yang dulu) terhadap nama Kanayatn (dalam bhs. Indonesia : Kandayan/Kendayan) barangkali berpatokan dari buku karangan seorang Missionaris (bukan Antropolog), Pastor Donatus Dunselman Ofm Cap. yang berjudul Bijdrage Tot De Kennis Van De Taal En Adat Der Kendajan-Dajaks Van West-Borneo.
Sebagai seorang Social Scientist saya menyangsikan artikel Dunselman di atas. Kita patut mempertanyakan setiap data dan hasil penelitian seseorang. Michael Dove (1985) mengatakan bahwa pengamat yang teliti pun pernah melakukan kesalahan dalam menarik kesimpulan. Ketika saya mengecek di lapangan, para informan (Emik) memberikan keterangan yang berbeda dengan apa yang didapat dan ditulis oleh Dunselman (Etik). Hasil karya antropolog dengan metode penelitian participant observation, walk through, in depth- interview dsb. tentu berbeda dengan hasil karya yang bukan antropolog. Bagaimanapun juga, dalam bidang ilmiah tidak ada sesuatu pun yang dianggap pasti; semuanya dapat dipersoalkan dan pada kenyataannya memang dipersoalkan (Bertens: 1975).[18]
Penelitian Dunselman banyak dilakukan di kampung Tiakng Tanyukng (hal. 21) Mempawah Hulu. Saya tahu bahwa Daerah Tiang Tanjung dekat dengan desa-desa orang bakati’ (Jirak, Sebangki, Timpurukng) dan desa-desa orang banyadu’ (pentek, semade, perigi). Kontak antar komunitas dalam hal bahasa, pertukaran barang, perkawinan dan sebagainya sangat tinggi di Tiang Tanjung. Barangkali Dunselman bertanya seperti ini,”Urakng ahe ba kita’ nian ?” Informan itu menjawab,”Aku nian urakng Kanayatn.”
Tanpa mengorek informasi lebih jauh lagi Dunselman langsung mematenkan informasi itu. Saya menduga bahwa informan itu mengatakan kalau dirinya dulu orang Kanayatn yang berbahasa bakati’/nyadu’ tapi sekarang menikah dan tinggal di Tiang Tanjung sehingga menjadi komunitas Tiang Tanjung dan berbahasa baahe/banana’. Menurut saya di sinilah letak kekeliruan itu sehingga terjadi pengadopsian nama yang salah bagi sebuah suku.
Kemudian nama Kanayatn (berubah menjadi Kendayan) itu diambil dan disebarluaskan di kalangan Akademis Universitas Tanjung Pura Pontianak Fakultas Keguruan oleh Donatus Lansau, Yoseph Thomas Lay dan Yohanes Yan Pius, dkk. yang menerbitkan buku Struktur Bahasa Kendayan (1981), Morfologi dan Sintaksis Bahasa Kendayan (1984), dan Morfologi Kata Kerja Bahasa Kendayan (1985) dari proyek Penelitian Bahasa dan Sastra Indonesia. Ironisnya, sebagai peneliti namun tidak pernah menanyakan kembali nama Kanayatn sebagai nama suku Dayak yang berbahasa baahe/banana’/badameo/bajare.
Selanjutnya nama itu dipakai lagi sebagai nama suku Dayak yang berdialek baahe/banana’ dalam upacara naik Dango pertama kali di Pahauman. Kini nama Kanayatn telah populer sebagai nama suku Dayak yang berdialek baahe/banana’ (dimanapun mereka berada), namun mereka yang berdialek dameo/jare tidak menerima itu dan menyebut diri mereka suku Dayak Salako, dan Kanayotn adalah nama mereka yang berbahasa bakati’, banyadu’ dan isolek lainnya. Akankah kekeliruan ini berlanjut dan dipertahankan ?
Bukti lain dari kekeliruan itu adalah artikel yang ditulis oleh Julipin dan Niko Andas Putra (1997). Mereka mengatakan:
“ ….. menurut beberapa sumber, pada tahun 1948 orang-orang yang berdialek bakati’
dan banyadu’ yang sekolah di Nyarumkop masih disebut orang Kanayatn oleh orang-
orang dari Samalantan dan Pahauman. Menurut orang Dayak Bukit Talaga orang Ka-
nayatn itu adalah orang-orang yang tidak fasih berbicara dialek ahe/banana’. Mereka
misalnya tidak mampu mengucapkan kata-kata yang berakhiran dengan : -utn, -atn. –
ikng, -ukng, -ekng, secara baik dan benar. Dan yang tidak fasih berbahasa ahe/ba-
nana’ itu adalah orang-orang Dayak (Kanayatn) Banyuke yang berdialek mpape, ba-
nyadu’, dan balangin.
Secara etik dapat saya simpulkan bahwa mereka yang tidak fasih berbahasa baahe/banana’ adalah mereka yang non-baahe/non-banana’, yaitu orang yang Nganayatn (ucapan yang tidak tepat seperti penutur asli) dalam ucapan (lafal) baahe/banana’-nya. Jadi mereka yang non-baahe/non-banana’ adalah Kanayatn. Dengan demikian yang fasih berarti bukan Kanayatn (Kandayan). Lalu Dayak apa mereka yang baahe/banana’ ini ?
Selain itu, menurut informan bahwa dari dulu sudah ada Binua Kanayatn. Binua Kanayatn ini meliputi Kinande, Papan Gersik, Papan Tembawang, Papan Uduk, Sejaruk Param, Sejaruk Tembawang, Bekuan, Bombai dan Pacong. Kepala Binua mereka yang masih diingat antara lain Daeng (almarhum), Kuyu (almarhum) dan Loge.
Kesimpulan saya berdasarkan uraian di atas ialah bahwa hingga sekarang saya tetap menggolongkan suku Dayak yang berdialek baahe/bajare/banana’/bangape sebagai orang Dayak Salako. Pada umumnya, suku Dayak Salako dulunya lebih senang tinggal di bukit, termasuk juga suku lain seperti suku Kanayatn sendiri. Jadi tidak tepat kalau ada penggolongan Dayak Bukit atau Dayak Bukan Bukit. Orang Bukit juga terdapat di pegunungan Meratus, di Thailand, di Taiwan (suku Alisan), di Pinatubo (Pilipina) dan sebagainya.[19]
Saran saya adalah agar nama Kandayan (Kanayatn) itu dikembalikan kepada yang berhak yaitu mereka yang berdialek bakati’, banyadu’, bainyam dan isoleknya yang lain. Suku Dayak Salako yang berdialek ahe/banana’ yang selama ini menyebut dirinya suku Dayak Kanayatn disarankan mengkaji ulang nama suku tersebut agar tidak membuat kesalahan bagi generasi yang akan datang. Tugas ini adalah tugas mereka yang berpendidikan karena kelompok mereka yang pertama kali mengklaim dan menyebarkan nama Kanayatn versi sekarang ini.
Daftar Bacaan
Andasputra, Niko et. al. “Orang Kanayatnkah atau Orang Bukit ?”. Dalam Mencer-
mati Dayak Kanayatn. Pontianak : IDRD, 1997.
Bertens, K. Ringkasan Sejarah Filsafat. Yogyakarta: Kanisius, 1975.
D. Achmad & M. Zaini.AR. Perkembangan Kabupaten Sambas dan Sejarahnya.
Singkawang, 1989.
Dhakidae, Daniel. Identitas. Dalam Majalah Prisma, Vol. 2, Februari 1979, LP3ES. Jakarta:
Repro Internasional, 1979.
Dove, Michael R. “Mitos Rumah Panjang ‘Komunal’ Dalam Pembangunan
Pedesaan: Kasus Suku Kantu’ Di Kalimantan.” In Peranan
Kebudayaan Tradisional Indonesia Dalam Modernisasi.
Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 1985.
Dunselman Ofm. Cap., Donatus. Bijdrage Yot De Kennis Van De Taal En Adat
Der Kendayan-DajaksVanWest-Borneo.
HALL, D.G.E. Sejarah Asia Tenggara. Surabaya : Usaha Nasional, 1988.
Harris, Marvin. Cultural Anthropology. New York : Harper & Row, Publisher,
Inc., 1987.
Hudson, A.B. “A Note on Selako:Melayic Dayak and Land Dayak Languages in
Western Borneo.” In Sarawak Museum Journal. Kuching 1970.
Karnow, Stanley. South-East Asia. Nederland : Time Inc., 1964.
King. T. Victor. The Peoples of Borneo. Oxford : Blackwell, 1993.
Ling Roth,Henry. The Natives of Sarawak and British North Borneo Volume: 2.
Kuala Lumpur: University of Malaya Press, 1980.
Loebis, Ali Basja MR. Azaz-Azaz Ilmu Bangsa-Bangsa. Jakarta : Erlangga, 1972.
Mckinnon, E.Edwards. “The Sambas Hoard: Bronze Drums, And Gold Orna-
ments Found in Kalimantan in 1991. In Journal of the Malay-
sian Branch of the Royal Asiatic Society. Vol. LXVII Part 1,
June, 1994.
Nababan, P.W.J. Sosiolinguistik, Suatu Pengantar. Jakarta : PT. Gramedia,
1984.
Prawiroatmojo, S. Bausastra Jawa-Indonesia. Jakarta: Gunung Agung, 1980.
Sanderson, Stephen K. Macrosociology. An Introduction to Human Societies. New York:
Harper Collins Publishers, 1991.
Slametmuljana. Asal Bangsa dan Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka,
1989.
Soekmono, R. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 1. Yogyakarta :
Kanisius, 1990.
Verhaar, Y.W.M. Pengantar Linguistik. Jogyakarta : Gajah Mada University Press,
1982.
Wojowasito, S. Sejarah Kebudayaan Indonesia II. Jakarta : Kalimosodo, 1957.
Zoetmulder, P.J. Kalangwan. A Survey of Old Javanese Literature. Den Haag :
Martinus Nijhoff, 1974.
Catatan:
1. Menurut cerita rakyat bahwa penyebaran suku Dayak Salako seiring dengan cerita Nek Sumpu dan Nek Badungkoh, suami-istri yang berhutang bate (hutang yang tidak dapat dilunasi) pada orang-orang di Bantang bukit Sarinokng, di wilayah Salako (sekarang wilayah ini disebut oleh orang Melayu: Selakau Tua, sedangkan Selakau Muda adalah pasar Selakau sekarang yang berada di atas delta atau tanah endapan dan dekat dengan pantai). Ketika nek Sumpu sedang memasak makanan untuk babi di dapur di serambi bantang (dalam bantang ada dua dapur, dapur dalam bilik dan dapur di serambi), tanpa disengaja dan diketahui apinya membakar benih jagung dan meerambat hingga ke atap bantang. Bantang saat itu sedang sunyi – hanya anak-anak dan orang tua – karena orang dewasa panen padi di ladang. Bantang terbakar habis, namun tidak ada korban jiwa.
Konon khabarnya di bukit Sarinokng di wilayah Salako itu hidup seekor harimau yang tinggal di dalam sebuah lubang (tohokng). Harimau itu sangat ganas terhadap ternak orang-orang di bantang itu. Penduduk mencari penyelesaian agar harimau itu tidak sampai memangsa anggota mereka. Mereka sepakat menyuruh suami-istri itu membunuh harimau itu karena kedua orang itu tidak mampu membayar hutangnya pada masyarakat. Kalau Nek Sumpu mampu membunuh harimau itu, maka dia berjasa terhadap orang-orang sebantang dan hutang batenya dianggap lunas.
Nek Sumpu minta dibuatkan sebuah kubu (bunker) di depan tohokng harimau itu. Di bagian depan (lobang) kubu itu disusun batang buluh, kemudian disusul dengan ui baboo (rotan), dan yang terakhir adalah batang pisang. Ketika sudah selesai, suami-istri itu dimasukkan ke dalam kubu itu dengan membawa tombak yang terbuat dari kayu bikokng (nama kayu yang tumbuh di rawa/tawokng). Mereka berdua kemudian dibuat kaomponan (i-ngantapatn-ni’) agar diterkam harimau itu. Namun hingga hari ketiga harimau itu tidak keluar untuk memangsa kedua manusia itu.
Orang-orang di bantang segera mencari jalan lain yaitu dengan mengutus tujuh orang laki-laki dan tujuh orang perempuan ngantapatnni’ Nek Sumpu dan istrinya dengan hati kutu. Hari berikutnya harimau itu keluar dan langsung menyerang Nek Sumpu dan istrinya. Berkali-kali harimau itu menerjang pertahanan di kubu itu akhirnya pertahanan pertama dan kedua bobol juga. Ketika binatang itu menerjang pertahanan ketiga, kuku-kuku kaki dan tangannya melekat di batang pisang. Saat itu Nek Sumpu menusukkan tombaknya yang tango tampiras (karena tombak itu sudah dimanterakan, harimau itu akan mati walaupun hanya sedikit saja bagian yang dikenai) ke sasarannya. Harimau itu segera terkulai dan mati.
Orang-orang di Bantang bergembira karena mereka sudah terlepas dari ancaman binatang yang ganas itu. Nek Sumpu dan istrinya dikeluarkan dari kubu dan dibawa beramai-ramai pulang ke bantang. Mereka sangat berterima kasih pada suami-istri itu dan menghapuskan hutang batenya. Pada hari ketiga orang sebantang sambayang (pesta adat) untuk ucapan terima kasih dan basaru’ sumangat.[20] Tumpi’, poe’, bontokng, ayam dan babi pun masak.
Namun pada saat itu Nek Sumpu dan Nek Badungkoh raib, tidak diketahui kemana perginya. Pada hari itu juga mereka mendapati bangkai harimau itu telah menjadi batu yang menghadap ke arah Timur dan Selatan. Batu harimau ini mensyaratkan penyebaran orang-orang Salako ke arah Timur (ke Lao di Serukam) dan ke Selatan (Pakana di Karangan dan seterusnya).
Walaupun Nek Sumpu dan istrinya raib, orang sebantang tetap sambayang. Beberapa hari setelah sambayang dilaksanakan, batu harimau itu juga raib dari daerah itu. Demikian cerita itu yang dikisahkan oleh Da’ Jangking, orang Salako kelahiran Pulo Nangko, dekat Sarinokng.
Perlu diketahui, menurut cerita orang jaman dulu, daerah Kalimantan ini dihuni juga oleh harimau. Namun, harimau itu poro’ (tidak berkembang/habis mati) karena pulau ini ada tungkae (tungka barangkali terjemahannya penangkal) yaitu pohon buiotn (belian/ulin). Yang tinggal hanya sejenis harimau namun kecil bentuknya, yaitu kasui.
1. Berdasarkan cerita Nek Sumpu di atas, mengapa masih ada orang Salako yang bermukim di bagian utara daerah Salako ? Padahal, daerah itu termasuk wilayah orang Kanayotn.
Menurut cerita rakyat yang hidup dalam komunitas Dayak Salako, daerah Binuo Bantanan, dan Malaysia Timur (Biawak dan Sebiris) adalah daerah orang Kanayotn. Pada waktu orang masih bakayo (head-hunting), orang-orang Kanayotn menjadi sasaran kayo orang Saribas (daerah Batang Lupar, Sarawak). Orang-orang Saribas sering datang ke bantang (long house) orang Kanayotn dan mengarukkan tombak mereka dari bawah lantai bantang.[21] Orang-orang Saribas tidak dapat naik ke bantang sebab tangga bantang sudah ditarik ke atas. Orang-orang di bantang itu tidak tahan dengan terror itu, apalagi sudah banyak warga, termasuk anak gadis dari kepala burung bantang itu, yang dibawa oleh orang-orang Saribas dengan panglimanya yang bernama Pak Jopi.
Akhirnya orang Kanayotn itu minta bantuan pada orang Salako. Jaman dulu kalau orang Salako pergi bakayo tidak pernah maro (ramai-ramai), paling ramai hanya tiga orang.[22] Orang Salako mengirim pamarani mereka tiga orang yaitu, Nek Keto, Nek Antoros, dan Nek Padan untuk membantu orang Kanayotn itu. Mereka bertiga dapat membunuh panglima Pak Jopi, namun mereka bertiga tidak mampu menghadapi orang-orang Saribas yang begitu ramai. Mereka bertiga akhirnya dibantu oleh Nek Nibo’, yang kebetulan sudah menaruh dendam dengan orang Saribas. Orang Saribas mengayo istri Nek Nibo’ saat istrinya merumputi (menyiangi) padinya di ladang.
Ketiga orang itu ketemu Nek Nibo’, orang sekampungnya, karena Nek Nibo’ sedang dalam pengembaraannya mencari orang-orang Saribas. Orang-orang Saribas dapat dikalahkan, dan mereka bertiga kembali ke kampungnya kembali. Nek Nibo’ stress berat, karena istri dan anaknya meninggal dunia. Dia akhirnya minta dibunuh pada orang Saribas dengan tangkitnnya. Dia tidak dapat dibunuh kecuali dengan tangkitnnya sendiri. Konon khabarnya, hingga kini kepala Nek Nibo’ masih dipelihara (disimpan) di kampung di daerah orang Saribas, Sarawak.
Orang Salako tidak meminta balas jasa pada orang Kanayotn sebab mereka membantu orang Kanayotn dengan tulus tanpa pamrih, walaupun taruhannya nyawa mereka. Namun, orang Kanayotn tetap saja merasa berhutang budi pada orang Salako karena orang Salako telah nyauk nyawo (menyelamatkan nyawa) mereka. Akhirnya orang Kanayotn, setelah basintumian (bermusyawarah) antar mereka, sepakat menyerahkan sebagian wilayahnya kepada orang Salako, yaitu daerah binuo Bantanan (Sajingan, Sunge Ano, Kuranyi, Tapokng/Ngole’, Tanyukng, Batu Itopm/Rogak, Sawoh, Sasak/Riopm, Nyalak (Sei Pohan), Galing, Batang Air, Sungai Baning, Asu’ Asakng) termasuk di Lundu District Malaysia Timur (Biawak, Mapangokng, Badaun, Sebiris, Sedaikng, Rukam, Sebiris, Sabako’, Paon, Sabaat, Tibaro, Poe). Orang-orang Salako kemudian sedikit demi sedikit datang dan bermukim ke daerah tersebut sehingga terbentuk kampung-kampung orang Salako sekarang ini. Mereka yang bermukim di daerah tersebut masih ingat asal-usul keturunan mereka berasal dari daerah Timur atau Selatan, sesuai dengan arah batu harimau di atas. Kini kampung-kampung orang Kanayotn di daerah itu hanya tinggal kampung Aruk, Apikng, Si Baruang dan daerah Pasir Putih (di Lundu district, Malaysia Timur).
Demikian cerita itu yang dikisahkan oleh sdr. Naoci, orang Salako yang lahir di Bagak dan lama tinggal di Biawak (dengan da’ Anggo’), Malaysia Timur – ketika musim nyamokel (smuggler) 1950an.
Catatan tentang Penulis:
Nama : Simon Takdir
Alamat : Jl. Diponegoro Gg. 17 No. 65 Pasiran, Singkawang 79123
Phone : (0562) 633302 E-mail: Sikup2002@yahoo.com
Pendidikan : S1 IKIP Sanata Dharma, Yogyakarta, Jurusan Bahasa Inggris
S2 Ateneo de Manila University, Philippines, Department of Sociology &
Anthropology, major : Cultural Anthropology.
A. Latar Belakang
Pengambilan sebuah nama untuk sebuah etnis merupakan suatu hal yang penting dalam kehidupan manusia sebagai makhluk sosial. Manusia sebagai individu atau sebagai kelompok dalam kehidupannya dapat membedakan dirinya sendiri atau kelompoknya dari individu atau kelompok di luar dirinya karena adanya perbedaan. Dengan kata lain, manusia mengenal dirinya sendiri karena adanya sebuah pembeda. Segala sesuatu objek yang ada disekitarnya masing-masing memiliki pembeda. Pembeda ini selanjutnya dikenal dengan nama identitas. Manusia memiliki banyak ragam identitas pribadi dan kelompok (selanjutnya disebut etnis) yang membedakannya dari yang lain sehingga dia atau kelompoknya dapat diidentifikasi. Identitas ini secara umum antara lain dapat berupa nama diri, nama suku, budaya, bahasa, pekerjaan, dan sebagainya
Nama sebuah suku – dimana individu itu berada dan sekaligus menjadi identitas dirinya – bagi sebuah kelompok masyarakat sangat penting sampai akhir hayatnya terutama sekali dalam aktivitas dan interaksinya sebagai makhluk sosial. Dengan identitasnya yang jelas, seseorang dapat mengenal dan menyatakan siapa dirinya atau kelompoknya dengan pasti – tanpa ragu-ragu. Begitu pentingnya identitas dalam kehidupan manusia sehingga tidaklah mengherankan kalau orang Yunani dan Romawi kuno dalam kebudayaan dan filsafatnya menganjurkan dan bahkan memerintahkan : COGNOSCE TE IPSUM ! Kenallah dirimu sendiri ! (Dhakidae 1979). Sebaliknya, sebuah suku yang tidak memiliki nama sebagai identitas selanjutnya akan mendatangkan malapetaka bagi suku tersebut karena “dia” sulit dan gagal untuk digolongkan apakah termasuk dalam kelompok manusia dan bahkan akan mendapat sanksi masyarakat dengan kalimat : Tidak tahu diri.
Apakah nama untuk sebuah suku itu dapat diambil secara terburu-buru dan langsung dilebelkan begitu saja agar terhindar dari kegagalan mengumumkan siapa dirinya ?
Pertanyaan ini menggelitik saya karena adanya sebuah phenomenon yang berhubungan dengan pertanyaan itu yang muncul di tengah masyarakat Dayak pantai, Kalimantan Barat. Kehadiran dualisme nama yang kontroversial terhadap sebuah suku Dayak yang sama sistim sosiokulturalnya – infrastruktur, struktur dan suprastrukturnya (ISS) – yaitu nama Salako dan Kanayotn, telah membuat kelompok masyarakat Dayak pantai tersebut bingung.[1] Nama mana yang benar untuk suku mereka ?
Nama Kanayotn secara historis dan Emik – khususnya bagi informan yang mobilitasnya rendah – merupakan nama untuk etnis tetangga dari suku Dayak yang tadinya menyebut dirinya suku Salako. Kedua kelompok suku – Salako dan Kanayotn – yang hidup berdampingan yang “ancestral domain”-nya dibatasi oleh sungai dan jalan ini secara linguistis dan praktik religiusnya berbeda. Kelompok masyarakat Dayak yang berbahasa ibu bakati’ dan banyadu’ dulunya, terutama sebelum tahun 1980-an menyebut diri mereka orang Kanayotn, dan bahkan hingga sekarang. Inilah data Emik yang tidak harus diabaikan.
Nama untuk sebuah suku yang sama secara ISS – terutama di bawah tahun 1980-an – bukanlah menjadi hal yang penting. Pada saat itu pembangunan di Kalbar dalam segala hal belum sebaik seperti sekarang ini. Mobilitas penduduk dan informasi yang menyebabkan terjadinya interaksi dan kontak budaya yang tinggi antar etnis-etnis di Indonesia masih sangat rendah dan terbatas. Akibatnya nama yang memang sudah ada untuk setiap etnis itu secara pelan-pelan tidak dihiraukan dan tidak sampai pada generasi yang berikutnya. Proses inkulturasi terhenti untuk hal ini.[2] Dengan kata lain, pada saat itu nama suku sebagai identitas bagi Dayak pantai tidaklah penting, bahkan mereka agak malu-malu untuk mengaku diri sebagai Dayak. Waktu itu nama-nama suku yang biasa terdengar adalah suku (orang) Iban, suku (orang) Punan. Suku (orang) Kanayotn untuk menamai mereka yang berbahasa bakati’ dan banyadu’ dengan ciri khas mengkonsumsi daging anjing.
Mereka yang berdialeg badameo ini secara historis memang berasal dari Salako Tua, daerah Sarinokng, dan Pulo Nangko, namun belum menyebut diri mereka Dayak Salako. Walaupun ada yang menyebut diri mereka Dayak Salako, nama itu belum begitu populer di Indonesia. Sebaliknya nama itu sudah sering digunakan dan ditulis oleh peneliti asing.[3] Suku Dayak ini – sama halnya dengan suku Dayak lainnya – lebih suka disebut berdasarkan nama tempat tinggalnya, misalnya orang Saopo, orang Bagak, dan seterusnya. Penyebutan nama seperti itu berlangsung ketika terjadi komunikasi antar sesama Dayaknya. Mereka – dalam komunikasi mereka dengan non-Dayak – tetap menyebut dirinya Dayak – yang oleh orang Cina disebut La Nyin (orang pedalaman), atau La Ci Nyin yang sekarang ada kecendrungan menyebutnya Ko San Chuk (orang pegunungan). Namun, seringin dengan perputaran waktu dan perubahan ruang, sekarang ini nama suku menjadi hal yang penting dalam kehidupan sosial ini.
Berangkat dari fenomenon tersebut – pentingnya nama sebuah suku sebagai identitas dan untuk mengklarifikasi dualisme nama yang muncul sekarang ini – saya mencoba menyodorkan pendapat saya – berdasarkan persamaan SIS – tentang kelompok Dayak pantai Kalimantan barat ini.
B. Siapakah suku Dayak Salako itu ?
Menurut teori Kern dan teori von Heine Geldern (Soekmono, 1990) bangsa Indonesia – demikian juga Suku Dayak Salako – termasuk keturunan bangsa Austronesia[4]. Sebelum bermigrasi ke Indonesia pada jaman mesolitikum (jaman batu pertengahan) di daratan Asia telah terjadi percampuran antara bangsa Kaukasus (Europaeide) dan bangsa Mongol (Mongolide). Percampuran ini melahirkan bangsa Austronesia (ras atau bangsa Melayu)[5] yang menurunkan langsung bangsa Indonesia secara umum. Bahasa mereka disebut bahasa Austronesia, dulu disebut bahasa Melayu-Polynesia (Soekmono, 1990). Bahasa-bahasa yang digunakan penduduk asli Kalimantan digolongkan ke dalam Bahasa Melayu Polynesia Barat, seperti yang dinyatakan oleh King (1993), yaitu:
“The languages of Borneo are generally classified as Western Malayo-Polynesian,
originating from Proto-Malayo-Polynesian, which developed in the Philippines and
divided from Formosan, both of which, in turn, had emerged from an original Proto-
Austronesian language in Taiwan.”
Dengan kata lain dapat dilukiskan bahwa nenek moyang bangsa Indonesia berasal dari Yunan, yaitu suatu tempat di Cina bagian selatan pada hulu sungai Mekong. Karena sesuatu hal yang tidak diketahui secara pasti, mereka pindah ke arah selatan menuju India belakang (daerah Siam dan Indo Cina). Di sini terjadi pembauran itu (Kaukasus dan Mongol) yang selanjutnya melahirkan bangsa Melayu dan yang kelak menurunkan orang-orang Indonesia.
Kemudian antara 3000=1500 tahun sebelum Masehi - pada jaman yang kita kenal sebagai jaman Neolitikum (Wojowasito, 1957) – mereka segerombol demi segerombol meninggalkan India Belakang menuju kepulauan di sebelah selatan Asia. Kepulauan di sebelah selatan Asia ini disebut Austronesia yang selanjutnya menjadi
tanah air mereka – nenek moyang bangsa Indonesia (Loebis, 1972). Kelompok yang bermigrasi pada sekitar tahun tersebut dinamakan Proto Melayu (Melayu Tua).[6]
Ciri-ciri budaya bangsa Austronesia (Slametmuljana, 1989) yang masih tampak dan saya alami pada budaya Dayak Salako, antara lain :
1. Tidak suka minum susu pada waktu makan.
2. Gemar makan ikan yang dibusukan (jaruk dan bonto’).
3. Mempunyai adat memotong kepala (bakayo) seperti bangsa Kuki, Naga dan Garo di pegunungan Assam.
4. Suka melapis gigi dengan emas (angkero/sunggi’).
5. Tinggal di rumah barak yang terdiri dari pelbagai keluarga (bantang).
6. Rumah-rumah didirikan di atas tiang, bukan karena tanahnya becek.
7. Pelubangan daun telinga yang terlalu lebar (jarang dilakukan oleh kaum priya, namun secara umum oleh kau wanita saja). Lubang lebar itu sebagai akibat dari beban buah anting-anting yang berat serta lamanya beban itu pada daun telinga. Perempuan Salako yang lubang daun telinganya besar terjuntai ke bawah yang terakhir saya saksikan adalah Nek Kudian orang Sarinokng yang pindah ke Bagak.
8. Suami termasuk dalam keluarga istri (dalam masyarkat Salako antara saudara dan kerabat pihak istri dan suami menggunakan kata sapaan isotn/ise’/isatn, dan antara orang tua serta kerabat dari kedua belah pihak menggunakan kata sapaan imat).
9. Menyapa suami dan istri dengan nama anaknya yang tertua (parapo’otn).
10. Dalam menghitung menggunakan kata bilangan bantu seperti ekor, orang, belah dan sebagainya.
Selain ciri-ciri tersebut di atas, ciri lain yang merupakan kebiasaan suku Dayak Salako jaman dulu sebagai warisan budaya dari nenek moyangnya bangsa Autronesia adalah mengkremasikan jenasah orang yang sudah meninggal, yakni dengan membakarnya. Hal ini dinyatakan oleh King (1993),
“…… Bornean practices of cremation were usually presumed to indicate Hindu-Indian
influences, while we now know that cremation was a very early Austronesian cultural
form in Borneo, and a fairly recent one in India.”
(Praktek pembakaran jenasah oleh orang Kalimantan umumnya dianggap untuk menunjukkan pengaruh Hindu-India, padahal sekarang kita tahu bahwa pembakaran itu adalah bentuk budaya Austronesia yang sangat awal di Kalimantan, dan bentuk yang sangat belakangan di India).
Lahan atau tempat pembakaran jenasah itu disebut patunuan.[7] Walaupun sekarang ini jebasah tidak dikremasikan lagi, tempat mengubur jenasah (kuburan) tetap disebut patunuan, bukan pasuburotn.
Menurut Stanley Karnow (1964) peta perjalanan migrasi bangsa Austronesia dari daratan Asia menuju pulau Kalimantan dan kepulauan Indonesia lainnya melalui semenanjung Malaka. Mereka yang menuju Kalimantan Barat barangkali ada yang memasuki muara sungai Sambas dan Salako. Kelompok yang memasuki sungai Sambas kemungkinan besar bermukim di kaki bukit Senujuh di kawasan sungai Sambas besar. Di kawasan ini di kemudian hari pernah berdiri kerajaan Sambas sekitar tahun 1291 (Ahmad dan Zaini, 1989) dengan rajanya tanpa bergelar Sultan dan rakyatnya masih menganut agama tradisional dan Hindu. Apakah mereka ini merupakan keturunan dari kelompok yang bermigrasi itu ?
Jauh sebelum bangsa Austronesia bermigrasi ke kepulauan Indonesia, antara lain ke Kalimantan, kepulauan Indonesia sudah ada penduduknya yaitu bangsa Weddoide dan bangsa Negrito (Wojowasito, 1957). Mereka mendiami kepulauan Indonesia sejak prasejarah dan kebudayaan mereka dinamakan kebudayaan Paleolitikum (Loebis, 1972), kebudayaan batu tua, karena mereka belum mengenal pemakaian logam. Penduduk lama ini (Weddoide dan Negrito) telah lenyap sama sekali dari Indonesia (Wojowasito, 1957).
Kelompok Austronesia yang bermukim di kaki bukit Senujuh ini, karena jumlahnya kecil, akhirnya hilang karena ditaklukan dan berbaur dengan penduduk yang lebih dulu datang ke daerah itu. Pembauran ini melahirkan nenek moyang suku yang disebut suku Kanayotn atau Raro dengan ragam-ragam bahasa mereka yaitu ba kati’, ba nyam, dan ba nyadu’. Para penutur dari ketiga ragam ini masih saling mengerti ketika mereka berkomunikasi dalam ragam mereka masing-masing (mutual intelligibility). Walaupun pembauran telah terjadi, ciri-ciri budaya dari keduanya masih tampak. Misalnya, budaya Austronesia pada suku ini adalah mengayau, tinggal di bantang, dan sebagainya. Budaya Austronesia masih tetap dominan karena adanya kontak budaya dengan kelompok Austronesia lainnya. Warisan Weddoide yang masih bertahan adalah menjadikan hewan anjing sebagai hewan sembelih dan kurban pada Jubato (dewa). Ini terjadi karena pada waktu itu banyak anjing hutan yang liar yang hidup di daerah ini. Binatang ini menjadi hewan buruan yang mudah bagi kaum Weddoide yang masih memiliki peralatan dari batu.
Warisan Weddoide lainnya yaitu pada umumnya lokasi pemukiman suku Kanayotn ini selalu di atas, atau di hulu pemukiman kelompok Austronesia, namun tidak begitu jauh letaknya. Pada umumnya dibatasi oleh sungai, bukit atau rimba. Bagaimanapun juga suku ini masih keturunan dari Austronesia.
Menurut informan bahwa Kanayotn itu berada di sebelah sana sungai atau jalan. Maksudnya yaitu suku Kanayotn berada di sebelah utara sungai Salako, di daerah Kinane, Subah dan sebagainya, atau di sebelah utara jalan raya, atau di wilayah sebelah utara dari wilayah kelompok Austronesia. Barangkali ini sejalan dengan kata Sansekerta/Kawi (Prawiroadmojo, 1981), yaitu Kanayotn berasal dari kata Kana + yana, atau Kana + yani. Kana : sana, yana : jalan, yani : sungai. Jika benar, apakah secara etimologis nama Kanayotn berasal dari kata tersebut di atas, yaitu suku yang tinggal di sebelah sana jalan atau sungai ?[8]
Kelompok Austronesia yang lain yang jumlahnya lebih besar memasuki muara sungai Salako (Saako). Di Salako ini ada bukit yang namanya Sarinokng (bhs. Melayu: Selindung). Mereka memilih bukit Sarinokng dan Pulo Nangko sebagai tempat bermukim mereka. Pada waktu itu bukit Sarinokng ini adalah pantai. Namun adanya proses alam maka timbul daratan baru yaitu kota Selakau sekarang. Sarinokng yang dulu berada di pantai kini berada jauh dari pantai. Sarinokng ini selanjutnya disebut Salako Tuho dan yang baru disebut Salako mudo’.
Nama Salako itu sendiri mungkin berasal dari Saak Ako. Konon di sana dulu banyak anjing hutan yang besar yang disebut asu’ ako. Masyarakat sering mendengar salaknya baik siang maupun malam. Karena anjing hutan ini mengganggu kehidupan masyarakat, binatang ini dimusnahkan begitu saja oleh mereka. Orang Austronesia ini tidak mau makan anjing.
Orang Austronesia menganggap anjing adalah binatang sial. Alam supernatural tidak mau berteman dan memberikan kekuatan magis pada orang yang makan daging anjing sebab badannya sudah kotor. Kesempatan untuk menjadi tukang belian, pamarani atau orang sakti hilang jika yang bersangkutan makan daging binatang itu. Selain itu, arwah orang meninggal yang hendak menuju Subayotn harus melalui tujuh pararangan, yaitu Titi Bajoo, Titi Bagoro’, Tajur Manimang, Padokng Maabo (banyak anjing besar dan ganas), Nangko Rayo (Puai’ Elo), Bae Gamokng (pasar tempat orang berjudi), Subayotn (tempat jiwa orang baik yang sudah meninggal). Orang Austronesia ini percaya bahwa orang yang makan daging anjing jiwanya akan dikejar dan disiksa oleh anjing-anjing di Padokng Maabo ini. Karena itu, ketika masih di dunia keturunan Dayak Salako dilarang memakan daging anjing. Orang Salako yang makan daging anjing sekarang ini setelah mereka kontak dengan suku-suku Indonesia lainnya seperti Cina, Batak, Ambon, Manado, Dayak Kanayotn dan sebagainya.
Kawasan anjing hutan yang biasa menyalak itu selanjutnya disebut mereka Saako (ucapan bhs. Saako pada umumnya menghilangkan fonem : /l/ dalam Sa(l)ako ). Nama ini selanjutnya digunakan untuk menyebut nama wilayah, nama sungai, nama suku, dan nama bahasa penduduk yang mendiaminya.
Orang Austronesia yang mendiami kawasan Saako inilah yang menurunkan suku Dayak Salako yang dikenal saat ini. Bukti adanya pemukiman di daerah Sarinokng ini diperoleh dari cerita lisan yang selalu disampaikan oleh orang tua secara turun-temurun. Selain itu di sekitar daerah ini masih ditemukan pohon buah-buahan yang sudah tua, misalnya pohon durian, cempedak, asam Kalimantan, dan lain-lain serta tempat pemujaan (tempat keramat) yang disebut Padagi/Panyugu[9] yang sudah tidak terurus, pecahan-pecahan keramik yang tersebar di lokasi bekas bantang, tepian mandi dan tempat keramat. Tambahan pula, di lokasi bukit Sarinokng ini ditemukan sebuah Nekara[10] pada bulan Mei 1991 yang kini disimpan di Museum Negri Pontianak. McKinnon (1991) menyatakan bahwa:
“Finds of sherds of coarse ‘prehistoric’ paddlemarked and basket-impressed
earthenware in and around an area of white sand at the foot of Bukit Selindung
maybe an indication of an early settlement in the area, though not necessarily
one with any connection with the drums – the criteria for such a settlement site
would appear to be met – an area of firm dry land upstream from the coast but with
riverine access to the sea, with a source of potable water (the stream from the hill)
and at one time an abundance of building materials and food resources – estuarine
fish, shell fish and other equatic life.”
C. Penyebaran Suku Dayak Salako[11]
Setelah beberapa lama tinggal di Sarinokng dan Pulo Nangko, beberapa orang dari mereka berusaha lagi pindah mencari daerah baru. Perpindahan ini dapat disebabkan oleh beberapa hal, antara lain, atas kemauan sendiri, karena lokasi ladang, karena konflik dalam komunitas.
Ada kelompok yang pindah ke Pemangkat. Menurut ceritanya Pemangkat berasal dari nama seorang pemimpin kelompok ini yaitu Ne’ Mangkat. Kelompok ini yang pertama kali membuka daerah ini. Keturunan kelompok ini selanjutnya ada yang pindah dengan menelusuri sungai Sabangko hingga ke daerah yang sekarang disebut Paranyo (dalam bhs. Melayu: Pelanjau). Mereka mendirikan bantang mereka di sini.
Kemudian, beberapa kelompok pindah lagi dengan menelusuri hulu sungai Salako. Ada yang menelusuri sungai Sangokng dan naik di Nek Balo, terus ke Nek Date’, Potekng, Pajintotn, Sango, Pakunam, Samarek, Pasi dan seterusnya. Namun ada juga yang naik di Bariakak dan terus ke Sahowo’, Bagak, Pasar, Sanorekng, Ranto, Sakong dan sebagainya. Orang Saopo asalnya orang Bagak.
Selanjutnya, ada yang terus mudik dan naik di Timawokng Abo’ dan pindah ke Puaje. Orang Bantang Sahowo’ pernah pindah ke Puaje. Perjalanan menelusuri sungai Salako yang berhulu di Bukit Bawokng (gunung Bawang ) telah menghantar kelompok orang Dayak Salako yang lain ke Lao, daerah Serukam. Dari sini meyebar ke daerah Sawak, Gajekng, Gado’, Pakana dan sekitarnya.
Perpindahan orang-orang Salako di Sarinokng dan Pulo Nangko terus berlanjut hingga akhirnya bantang bukit Sarinokng itu kini menjadi kosong – menjadi timawokng (tembawang). Namun, suku Dayak Salako di Binuo Garantukng Sakawokng dan Binuo Sango Sakawokng masih tetap mengingat asal-usul nenek moyang mereka dari tempat tersebut.
Dalam pembentukan organisasi kepemerintahan di kemudian hari (jaman Belanda/Sultan Sambas) terdapat pembagian wilayah kekuasaan (ancestral domain) dengan istilah Wilayah Sawak, dan Gajekng. Sawak terbagi dua yaitu Sawak Hulu (Apikng, Bamban Rancang, Batokong, Gumbang, Nyandong, Serong, dan Sawak Hilir (Sapatukng, Godang Damar, Salangko <Mendung Terusan>, dan Kincir. Wilayah Gajekng dan Gado’ adalah bagian kanan jalan menuju arah Bengkayang, misalnya Sangkinahu’ , Poongan, Maaba’e, Caokng dan sebagainya.
Wilayah lainnya adalah Garantukng Sakawokng[12] (Puaje,Pasar/Pak Kucing[13], Sanorekng, Ranto, Parento’/Saopo, BagakSahowo’, Nyarongkop/Ne’ Usun/Kamar, Potekng/Pajintotn, Ranto, Sibaju dan Paranyo) dan Sango Sakawokng (Sango, Gare, Pakunam, Pasi, Sakong,)[14]. Batas Garantukng Sakawokng dan Sango Sakawokng adalah Pentek (Tirtayasa). Batas Garantukng Sakawokng dengan Sawak Hilir adalah kampung Puaje (Jembatan dekat simpang Mantarado’).
Ada kelompok lain lagi yang berasal dari Lao pindah hingga Pakana (Karangan). Inilah nenek Moyang orang Salako yang menurunkan mereka yang berbahasa ba ahe dan banana’. Selanjutnya terjadi penyebaran ke berbagai wilayah di kabupaten Pontianak dan Landak dengan berbagai macam isolek (dialek dalam bahasa serumpun).
D. Dasar Pemikiran bahwa baahe/bajare/banana’/bangape juga Dayak Salako
Premis bahwa yang berdialek baahe/bajare/banana’/bangape adalah Dayak Salako antara lain persamaan antara praktek agama tradisional, bahasa, dan senjata perang.
1. Agama Tradisional dan Adat
Praktek agama tradisional antara wilayah pembagian Kabupaten yang dulu yaitu Kabupaten Sambas dan Kabupaten Pontianak adalah sama secara umum. Misalnya, mithos nek Kulup, kosa-kata untuk perangkat persembahan (Nyangahotn) misalnya, tumpi’ poe’, bontokng, apar, buis, pabayo, pantak, soor (solor), dan tempat-tempat mitis seperti bukit Bawokng, Nek Bancino Tanyukng Bungo. Kedua tempat mitis ini berada di Kabupaten Sambas – bukit Bawokng di daerah Bengkayang dan Tanyukng Bungo di daerah bukit sungai Raya/Pasir Panjang.[15]
Secara umum dapat diamati bahwa praktek adat (hukun adat dan adat-istiadat) antara kelompok ba’ahe dan badameo adalah sama. Persamaan umum ini telah menunjukkan kebenaran dari premis di atas. Adapun perbedaan kecil yang lain, misalnya menggunakan anjing sebagai hewan persembahan merupakan assimilisi (akulturasi) antara Kanayatn (bakati’) dengan Salako yang mana tempat pemukiman kedua komunitas itu berdekatan.
2. Bahasa
Secara isoglos (garis yang menghubungkan persamaan dan perbedaan kosa kata dalam bahasa serumpun) menunjukkan bahwa bahasa baahe/banana’ dan bahasa badameo/bajare adalah berasal dari satu rumpun. Secara umum kosa kata adalah sama namun perbedaan ucapan dan beberapa kosa kata lainnya karena hasil dari penyesuaian terhadap lingkungan. Ketika para penutur berkomunikasi dalam dialeknya masing-masing, komunikasi dapat berlangsung dengan baik karena mereka masing-masing dapat saling mengerti (mutual intelligibility) Saya membagi bahasa Salako ini menjadi tiga ragam dialek (isolek) yaitu:
1. Dialek Badameo jare atau Badamea jare dengan wilayah penutur Binuo Sango Sakawokng, Binuo Garantukng
Sakawokng, Binuo Bantanan, dan Wilayah Malaysia Timur (Biawak, Sebiris, Poe, dan seterusnya)
contoh:
Dameo jare (bahasa Indonesia : apa katanya ), penuturnya : Sango Sakawokng dan Garantukng
Sakwokng
Damea jare (bhs. Indonesia : apa katanya), penuturnya : Bantanan dan Malayasia Timur
Penutur dengan dialek ini biasa disebut Dayak Salako Badameo
2. Dialek Ahe/jare[16] dengan wilayah penutur yang berada di antara wilayah dialek no. 1 di atas dan
wilayah dialek no. 3 di bawah, yaitu wilayah Sawak dan Gajekng. Saya menyebutnya dialek Transisi.
contoh:
Ahe jare (bahasa Indonesia : apa katanya)
Penutur dengan dialek ini biasa disebut Dayak Salako Ba ahe jare.
3. Dialek Ahe/janya dengan wilayah penutur Mempawah hulu/Sa'iri, Ambawang, binua Ipuh, Sangah, Manyuke.
Penutur dengan dialek ini biasa disebut Dayak Salako Ba ahe.
3. Senjata Bakayo
Alat yang digunakan untuk bakayo (headhunting) oleh komunitas-komunitas yang berdialek badameo/bajare/bajanya sama yaitu Tangkitn dan Bolekng (dalam dialek badameo: Boekng), bukan mando (mandau). Boekng atau Bolekng (tombak yang ujungnya terbuat dari besi dan gagangnya dari kayu) biasa juga disebut tampoleng/tampolekng oleh penutur dalam semua dialek di atas. Ceritera rakyat dari Mempawah Hulu (Kaca’ dan Tiakng Tanyukngs) – lokasi penelitian Pastor Donatus Dunselman Ofm Cap.- menceritakan :
“Sarata nya ninyak tanah di Mani Amas lalu bakata Leo Baja:”Dusaku”.
sambil nya ngalansaratn bolekngnya. Mani Amas nyingkubakng talu kali,
udah koa nya mabut tangkitnnya.” (Begitu Mani Amas menginjakkan kakinya
ke tanah, lalu Leo Baja berkata,”Dusaku”, sambil dia melayangkan tombaknya.
Mani Amas melompat (salto) tiga kali, setelah itu dia mencabut tangkitnnya).
Tangkitn (lihat catatan kaki hal. 14) adalah sejenis parang yang hanya digunakan khusus untuk bakayo. Selain itu biasa juga digunakan dalam upacara-upacara ritual lainnya seperti upacara pengobatan yaitu baliatn (baiotn), badukun/balenggang. Parang yang digunakan untuk pekerjaan sehari-hari disebut iso’ (gagangnya dibuat dari kayu). Karena itu ada pantun kilat dalam masyarakat Mempawah Hulu yang ditulis oleh Pastor Donatus Dunselman yaitu:
Lain iso’ lain tangkitn (Lain iso’ lain tangkitn)
Lain doho’ lain angkitn (Lain dulu lain sekarang)
Adanya tiga hal yang sama di atas menunjukkan bahwa mereka itu berasal dari satu titik sentral sebagai tempat asalnya, yaitu dari daerah Salako (austronesia) di Kabupaten Sambas. Adanya sedikit perbedaan dalam praktek agama tradisional dan bahasa (isolek) karena hasil proses adaptasi terhadap lingkungan serta kontak budaya (akulturasi) dengan dunia luar.
Kontak Budaya dengan dunia luar telah terjadi antara daerah Pakana (Karangan) di Mempawah Hulu dengan Kerajaan Majapahit pada pertengahan tahun 1300 M. Ketika itu Hayam Wuruk (1350-1389) naik takhta yang dibantu oleh patihnya Gajah Mada dan membawa Majapahit ke jaman keemasan. Perluasan daerah terjadi sampai ke Kalimantan Barat yaitu kerajaan Sidiniang di Karangan. Di sini ditempatkan seorang penguasa kerajaan Majapahit yang bergelar patih yaitu Patih Gumantar.
Patih Gumantar segera menerapkan bentuk organisasi kepemerintahan Majapahit misalnya ada Temenggung dan Kebayan dan sebagainya yang bertugas membantu kelancaran kepemerintahannya di pedesaan. Bentuk organisasi ini akhirnya diadopsi dan mengakar pada masyarakat lokal di desa dan tetap dipertahankan hingga sekarang di bekas pengaruh kerajaan Sidiniang ini. Patih Gumantar dalam mengenang Raja pendiri Kerajaan Majapahit, Raden Wijaya yang bergelar Kertarajasa Jayawardana (1293-1309) memberi nama putrinya Dara Irakng (Dara Hitam)[17].
Kartarajasa selain menikahi empat orang putri Kertanegara (Raja Singosari) juga menikahi Dara Jingga yang bergelar Sjri Indresjwari, seorang putri dari kerajaan Malayu yang dibawa panglima kerajaan Singosari sebagai upeti. Pada waktu itu secara hipotesis telah terjadi pengaruh ucapan bahasa dan kosa kata dari bahasa Kawi (jawa kuna) ke bahasa daerah setempat. Misalnya:
Bhs. Kawi Dialek Ahe/Janya Dialek Dameo/Jare Bhs.Indonesia
1. Pahoman pahauman parauman tempat sidang
2. Walu balu bau duda
3. Tineget/tenget teget teget tolak
4. Marga maraga marago jalan
5. Walyan baliatn baiyotn belian
6. Sunsang sunsakng sunsokng kepala ke bawah
Daerah Kabupaten Sambas (kabupaten yang dulu) mempunyai dialek dengan fonem /o/ dalam contoh 4 dan 6. Dialek ini muncul karena barangkali pengaruh kerajaan Sriwijaya di Palembang lebih kuat. Dialek tersebut lebih mirip dengan bahasa Palembang, misalnya: ngapo (ngapa), kamano (kemana), dst.
E. Siapa suku Dayak Kanayotn itu ?
Menurut orang tua-tua dahulu, dan bahkan menurut orang yang berbahasa bakati’ sendiri bahwa Dayak Kanayatn itu adalah mereka berbahasa bakati’, banyadu, bainyam, dan dialek serumpun lainnya. Kalau kita bertanya pada orang-orang tua di kampung yang berdialek dameo/jare/ahe/janya tentang siapa orang Kanayotn itu, mereka akan menjawab bahwa Kanayotn itu adalah orang yang berbahasa bakati’/banyadu’ (tentu ada cerita lain lagi di samping itu). Proses pengambilan nama oleh Dayak Salako kabupaten Pontianak (kabupaten yang dulu) terhadap nama Kanayatn (dalam bhs. Indonesia : Kandayan/Kendayan) barangkali berpatokan dari buku karangan seorang Missionaris (bukan Antropolog), Pastor Donatus Dunselman Ofm Cap. yang berjudul Bijdrage Tot De Kennis Van De Taal En Adat Der Kendajan-Dajaks Van West-Borneo.
Sebagai seorang Social Scientist saya menyangsikan artikel Dunselman di atas. Kita patut mempertanyakan setiap data dan hasil penelitian seseorang. Michael Dove (1985) mengatakan bahwa pengamat yang teliti pun pernah melakukan kesalahan dalam menarik kesimpulan. Ketika saya mengecek di lapangan, para informan (Emik) memberikan keterangan yang berbeda dengan apa yang didapat dan ditulis oleh Dunselman (Etik). Hasil karya antropolog dengan metode penelitian participant observation, walk through, in depth- interview dsb. tentu berbeda dengan hasil karya yang bukan antropolog. Bagaimanapun juga, dalam bidang ilmiah tidak ada sesuatu pun yang dianggap pasti; semuanya dapat dipersoalkan dan pada kenyataannya memang dipersoalkan (Bertens: 1975).[18]
Penelitian Dunselman banyak dilakukan di kampung Tiakng Tanyukng (hal. 21) Mempawah Hulu. Saya tahu bahwa Daerah Tiang Tanjung dekat dengan desa-desa orang bakati’ (Jirak, Sebangki, Timpurukng) dan desa-desa orang banyadu’ (pentek, semade, perigi). Kontak antar komunitas dalam hal bahasa, pertukaran barang, perkawinan dan sebagainya sangat tinggi di Tiang Tanjung. Barangkali Dunselman bertanya seperti ini,”Urakng ahe ba kita’ nian ?” Informan itu menjawab,”Aku nian urakng Kanayatn.”
Tanpa mengorek informasi lebih jauh lagi Dunselman langsung mematenkan informasi itu. Saya menduga bahwa informan itu mengatakan kalau dirinya dulu orang Kanayatn yang berbahasa bakati’/nyadu’ tapi sekarang menikah dan tinggal di Tiang Tanjung sehingga menjadi komunitas Tiang Tanjung dan berbahasa baahe/banana’. Menurut saya di sinilah letak kekeliruan itu sehingga terjadi pengadopsian nama yang salah bagi sebuah suku.
Kemudian nama Kanayatn (berubah menjadi Kendayan) itu diambil dan disebarluaskan di kalangan Akademis Universitas Tanjung Pura Pontianak Fakultas Keguruan oleh Donatus Lansau, Yoseph Thomas Lay dan Yohanes Yan Pius, dkk. yang menerbitkan buku Struktur Bahasa Kendayan (1981), Morfologi dan Sintaksis Bahasa Kendayan (1984), dan Morfologi Kata Kerja Bahasa Kendayan (1985) dari proyek Penelitian Bahasa dan Sastra Indonesia. Ironisnya, sebagai peneliti namun tidak pernah menanyakan kembali nama Kanayatn sebagai nama suku Dayak yang berbahasa baahe/banana’/badameo/bajare.
Selanjutnya nama itu dipakai lagi sebagai nama suku Dayak yang berdialek baahe/banana’ dalam upacara naik Dango pertama kali di Pahauman. Kini nama Kanayatn telah populer sebagai nama suku Dayak yang berdialek baahe/banana’ (dimanapun mereka berada), namun mereka yang berdialek dameo/jare tidak menerima itu dan menyebut diri mereka suku Dayak Salako, dan Kanayotn adalah nama mereka yang berbahasa bakati’, banyadu’ dan isolek lainnya. Akankah kekeliruan ini berlanjut dan dipertahankan ?
Bukti lain dari kekeliruan itu adalah artikel yang ditulis oleh Julipin dan Niko Andas Putra (1997). Mereka mengatakan:
“ ….. menurut beberapa sumber, pada tahun 1948 orang-orang yang berdialek bakati’
dan banyadu’ yang sekolah di Nyarumkop masih disebut orang Kanayatn oleh orang-
orang dari Samalantan dan Pahauman. Menurut orang Dayak Bukit Talaga orang Ka-
nayatn itu adalah orang-orang yang tidak fasih berbicara dialek ahe/banana’. Mereka
misalnya tidak mampu mengucapkan kata-kata yang berakhiran dengan : -utn, -atn. –
ikng, -ukng, -ekng, secara baik dan benar. Dan yang tidak fasih berbahasa ahe/ba-
nana’ itu adalah orang-orang Dayak (Kanayatn) Banyuke yang berdialek mpape, ba-
nyadu’, dan balangin.
Secara etik dapat saya simpulkan bahwa mereka yang tidak fasih berbahasa baahe/banana’ adalah mereka yang non-baahe/non-banana’, yaitu orang yang Nganayatn (ucapan yang tidak tepat seperti penutur asli) dalam ucapan (lafal) baahe/banana’-nya. Jadi mereka yang non-baahe/non-banana’ adalah Kanayatn. Dengan demikian yang fasih berarti bukan Kanayatn (Kandayan). Lalu Dayak apa mereka yang baahe/banana’ ini ?
Selain itu, menurut informan bahwa dari dulu sudah ada Binua Kanayatn. Binua Kanayatn ini meliputi Kinande, Papan Gersik, Papan Tembawang, Papan Uduk, Sejaruk Param, Sejaruk Tembawang, Bekuan, Bombai dan Pacong. Kepala Binua mereka yang masih diingat antara lain Daeng (almarhum), Kuyu (almarhum) dan Loge.
Kesimpulan saya berdasarkan uraian di atas ialah bahwa hingga sekarang saya tetap menggolongkan suku Dayak yang berdialek baahe/bajare/banana’/bangape sebagai orang Dayak Salako. Pada umumnya, suku Dayak Salako dulunya lebih senang tinggal di bukit, termasuk juga suku lain seperti suku Kanayatn sendiri. Jadi tidak tepat kalau ada penggolongan Dayak Bukit atau Dayak Bukan Bukit. Orang Bukit juga terdapat di pegunungan Meratus, di Thailand, di Taiwan (suku Alisan), di Pinatubo (Pilipina) dan sebagainya.[19]
Saran saya adalah agar nama Kandayan (Kanayatn) itu dikembalikan kepada yang berhak yaitu mereka yang berdialek bakati’, banyadu’, bainyam dan isoleknya yang lain. Suku Dayak Salako yang berdialek ahe/banana’ yang selama ini menyebut dirinya suku Dayak Kanayatn disarankan mengkaji ulang nama suku tersebut agar tidak membuat kesalahan bagi generasi yang akan datang. Tugas ini adalah tugas mereka yang berpendidikan karena kelompok mereka yang pertama kali mengklaim dan menyebarkan nama Kanayatn versi sekarang ini.
Daftar Bacaan
Andasputra, Niko et. al. “Orang Kanayatnkah atau Orang Bukit ?”. Dalam Mencer-
mati Dayak Kanayatn. Pontianak : IDRD, 1997.
Bertens, K. Ringkasan Sejarah Filsafat. Yogyakarta: Kanisius, 1975.
D. Achmad & M. Zaini.AR. Perkembangan Kabupaten Sambas dan Sejarahnya.
Singkawang, 1989.
Dhakidae, Daniel. Identitas. Dalam Majalah Prisma, Vol. 2, Februari 1979, LP3ES. Jakarta:
Repro Internasional, 1979.
Dove, Michael R. “Mitos Rumah Panjang ‘Komunal’ Dalam Pembangunan
Pedesaan: Kasus Suku Kantu’ Di Kalimantan.” In Peranan
Kebudayaan Tradisional Indonesia Dalam Modernisasi.
Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 1985.
Dunselman Ofm. Cap., Donatus. Bijdrage Yot De Kennis Van De Taal En Adat
Der Kendayan-DajaksVanWest-Borneo.
HALL, D.G.E. Sejarah Asia Tenggara. Surabaya : Usaha Nasional, 1988.
Harris, Marvin. Cultural Anthropology. New York : Harper & Row, Publisher,
Inc., 1987.
Hudson, A.B. “A Note on Selako:Melayic Dayak and Land Dayak Languages in
Western Borneo.” In Sarawak Museum Journal. Kuching 1970.
Karnow, Stanley. South-East Asia. Nederland : Time Inc., 1964.
King. T. Victor. The Peoples of Borneo. Oxford : Blackwell, 1993.
Ling Roth,Henry. The Natives of Sarawak and British North Borneo Volume: 2.
Kuala Lumpur: University of Malaya Press, 1980.
Loebis, Ali Basja MR. Azaz-Azaz Ilmu Bangsa-Bangsa. Jakarta : Erlangga, 1972.
Mckinnon, E.Edwards. “The Sambas Hoard: Bronze Drums, And Gold Orna-
ments Found in Kalimantan in 1991. In Journal of the Malay-
sian Branch of the Royal Asiatic Society. Vol. LXVII Part 1,
June, 1994.
Nababan, P.W.J. Sosiolinguistik, Suatu Pengantar. Jakarta : PT. Gramedia,
1984.
Prawiroatmojo, S. Bausastra Jawa-Indonesia. Jakarta: Gunung Agung, 1980.
Sanderson, Stephen K. Macrosociology. An Introduction to Human Societies. New York:
Harper Collins Publishers, 1991.
Slametmuljana. Asal Bangsa dan Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka,
1989.
Soekmono, R. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 1. Yogyakarta :
Kanisius, 1990.
Verhaar, Y.W.M. Pengantar Linguistik. Jogyakarta : Gajah Mada University Press,
1982.
Wojowasito, S. Sejarah Kebudayaan Indonesia II. Jakarta : Kalimosodo, 1957.
Zoetmulder, P.J. Kalangwan. A Survey of Old Javanese Literature. Den Haag :
Martinus Nijhoff, 1974.
Catatan:
1. Menurut cerita rakyat bahwa penyebaran suku Dayak Salako seiring dengan cerita Nek Sumpu dan Nek Badungkoh, suami-istri yang berhutang bate (hutang yang tidak dapat dilunasi) pada orang-orang di Bantang bukit Sarinokng, di wilayah Salako (sekarang wilayah ini disebut oleh orang Melayu: Selakau Tua, sedangkan Selakau Muda adalah pasar Selakau sekarang yang berada di atas delta atau tanah endapan dan dekat dengan pantai). Ketika nek Sumpu sedang memasak makanan untuk babi di dapur di serambi bantang (dalam bantang ada dua dapur, dapur dalam bilik dan dapur di serambi), tanpa disengaja dan diketahui apinya membakar benih jagung dan meerambat hingga ke atap bantang. Bantang saat itu sedang sunyi – hanya anak-anak dan orang tua – karena orang dewasa panen padi di ladang. Bantang terbakar habis, namun tidak ada korban jiwa.
Konon khabarnya di bukit Sarinokng di wilayah Salako itu hidup seekor harimau yang tinggal di dalam sebuah lubang (tohokng). Harimau itu sangat ganas terhadap ternak orang-orang di bantang itu. Penduduk mencari penyelesaian agar harimau itu tidak sampai memangsa anggota mereka. Mereka sepakat menyuruh suami-istri itu membunuh harimau itu karena kedua orang itu tidak mampu membayar hutangnya pada masyarakat. Kalau Nek Sumpu mampu membunuh harimau itu, maka dia berjasa terhadap orang-orang sebantang dan hutang batenya dianggap lunas.
Nek Sumpu minta dibuatkan sebuah kubu (bunker) di depan tohokng harimau itu. Di bagian depan (lobang) kubu itu disusun batang buluh, kemudian disusul dengan ui baboo (rotan), dan yang terakhir adalah batang pisang. Ketika sudah selesai, suami-istri itu dimasukkan ke dalam kubu itu dengan membawa tombak yang terbuat dari kayu bikokng (nama kayu yang tumbuh di rawa/tawokng). Mereka berdua kemudian dibuat kaomponan (i-ngantapatn-ni’) agar diterkam harimau itu. Namun hingga hari ketiga harimau itu tidak keluar untuk memangsa kedua manusia itu.
Orang-orang di bantang segera mencari jalan lain yaitu dengan mengutus tujuh orang laki-laki dan tujuh orang perempuan ngantapatnni’ Nek Sumpu dan istrinya dengan hati kutu. Hari berikutnya harimau itu keluar dan langsung menyerang Nek Sumpu dan istrinya. Berkali-kali harimau itu menerjang pertahanan di kubu itu akhirnya pertahanan pertama dan kedua bobol juga. Ketika binatang itu menerjang pertahanan ketiga, kuku-kuku kaki dan tangannya melekat di batang pisang. Saat itu Nek Sumpu menusukkan tombaknya yang tango tampiras (karena tombak itu sudah dimanterakan, harimau itu akan mati walaupun hanya sedikit saja bagian yang dikenai) ke sasarannya. Harimau itu segera terkulai dan mati.
Orang-orang di Bantang bergembira karena mereka sudah terlepas dari ancaman binatang yang ganas itu. Nek Sumpu dan istrinya dikeluarkan dari kubu dan dibawa beramai-ramai pulang ke bantang. Mereka sangat berterima kasih pada suami-istri itu dan menghapuskan hutang batenya. Pada hari ketiga orang sebantang sambayang (pesta adat) untuk ucapan terima kasih dan basaru’ sumangat.[20] Tumpi’, poe’, bontokng, ayam dan babi pun masak.
Namun pada saat itu Nek Sumpu dan Nek Badungkoh raib, tidak diketahui kemana perginya. Pada hari itu juga mereka mendapati bangkai harimau itu telah menjadi batu yang menghadap ke arah Timur dan Selatan. Batu harimau ini mensyaratkan penyebaran orang-orang Salako ke arah Timur (ke Lao di Serukam) dan ke Selatan (Pakana di Karangan dan seterusnya).
Walaupun Nek Sumpu dan istrinya raib, orang sebantang tetap sambayang. Beberapa hari setelah sambayang dilaksanakan, batu harimau itu juga raib dari daerah itu. Demikian cerita itu yang dikisahkan oleh Da’ Jangking, orang Salako kelahiran Pulo Nangko, dekat Sarinokng.
Perlu diketahui, menurut cerita orang jaman dulu, daerah Kalimantan ini dihuni juga oleh harimau. Namun, harimau itu poro’ (tidak berkembang/habis mati) karena pulau ini ada tungkae (tungka barangkali terjemahannya penangkal) yaitu pohon buiotn (belian/ulin). Yang tinggal hanya sejenis harimau namun kecil bentuknya, yaitu kasui.
1. Berdasarkan cerita Nek Sumpu di atas, mengapa masih ada orang Salako yang bermukim di bagian utara daerah Salako ? Padahal, daerah itu termasuk wilayah orang Kanayotn.
Menurut cerita rakyat yang hidup dalam komunitas Dayak Salako, daerah Binuo Bantanan, dan Malaysia Timur (Biawak dan Sebiris) adalah daerah orang Kanayotn. Pada waktu orang masih bakayo (head-hunting), orang-orang Kanayotn menjadi sasaran kayo orang Saribas (daerah Batang Lupar, Sarawak). Orang-orang Saribas sering datang ke bantang (long house) orang Kanayotn dan mengarukkan tombak mereka dari bawah lantai bantang.[21] Orang-orang Saribas tidak dapat naik ke bantang sebab tangga bantang sudah ditarik ke atas. Orang-orang di bantang itu tidak tahan dengan terror itu, apalagi sudah banyak warga, termasuk anak gadis dari kepala burung bantang itu, yang dibawa oleh orang-orang Saribas dengan panglimanya yang bernama Pak Jopi.
Akhirnya orang Kanayotn itu minta bantuan pada orang Salako. Jaman dulu kalau orang Salako pergi bakayo tidak pernah maro (ramai-ramai), paling ramai hanya tiga orang.[22] Orang Salako mengirim pamarani mereka tiga orang yaitu, Nek Keto, Nek Antoros, dan Nek Padan untuk membantu orang Kanayotn itu. Mereka bertiga dapat membunuh panglima Pak Jopi, namun mereka bertiga tidak mampu menghadapi orang-orang Saribas yang begitu ramai. Mereka bertiga akhirnya dibantu oleh Nek Nibo’, yang kebetulan sudah menaruh dendam dengan orang Saribas. Orang Saribas mengayo istri Nek Nibo’ saat istrinya merumputi (menyiangi) padinya di ladang.
Ketiga orang itu ketemu Nek Nibo’, orang sekampungnya, karena Nek Nibo’ sedang dalam pengembaraannya mencari orang-orang Saribas. Orang-orang Saribas dapat dikalahkan, dan mereka bertiga kembali ke kampungnya kembali. Nek Nibo’ stress berat, karena istri dan anaknya meninggal dunia. Dia akhirnya minta dibunuh pada orang Saribas dengan tangkitnnya. Dia tidak dapat dibunuh kecuali dengan tangkitnnya sendiri. Konon khabarnya, hingga kini kepala Nek Nibo’ masih dipelihara (disimpan) di kampung di daerah orang Saribas, Sarawak.
Orang Salako tidak meminta balas jasa pada orang Kanayotn sebab mereka membantu orang Kanayotn dengan tulus tanpa pamrih, walaupun taruhannya nyawa mereka. Namun, orang Kanayotn tetap saja merasa berhutang budi pada orang Salako karena orang Salako telah nyauk nyawo (menyelamatkan nyawa) mereka. Akhirnya orang Kanayotn, setelah basintumian (bermusyawarah) antar mereka, sepakat menyerahkan sebagian wilayahnya kepada orang Salako, yaitu daerah binuo Bantanan (Sajingan, Sunge Ano, Kuranyi, Tapokng/Ngole’, Tanyukng, Batu Itopm/Rogak, Sawoh, Sasak/Riopm, Nyalak (Sei Pohan), Galing, Batang Air, Sungai Baning, Asu’ Asakng) termasuk di Lundu District Malaysia Timur (Biawak, Mapangokng, Badaun, Sebiris, Sedaikng, Rukam, Sebiris, Sabako’, Paon, Sabaat, Tibaro, Poe). Orang-orang Salako kemudian sedikit demi sedikit datang dan bermukim ke daerah tersebut sehingga terbentuk kampung-kampung orang Salako sekarang ini. Mereka yang bermukim di daerah tersebut masih ingat asal-usul keturunan mereka berasal dari daerah Timur atau Selatan, sesuai dengan arah batu harimau di atas. Kini kampung-kampung orang Kanayotn di daerah itu hanya tinggal kampung Aruk, Apikng, Si Baruang dan daerah Pasir Putih (di Lundu district, Malaysia Timur).
Demikian cerita itu yang dikisahkan oleh sdr. Naoci, orang Salako yang lahir di Bagak dan lama tinggal di Biawak (dengan da’ Anggo’), Malaysia Timur – ketika musim nyamokel (smuggler) 1950an.
Catatan tentang Penulis:
Nama : Simon Takdir
Alamat : Jl. Diponegoro Gg. 17 No. 65 Pasiran, Singkawang 79123
Phone : (0562) 633302 E-mail: Sikup2002@yahoo.com
Pendidikan : S1 IKIP Sanata Dharma, Yogyakarta, Jurusan Bahasa Inggris
S2 Ateneo de Manila University, Philippines, Department of Sociology &
Anthropology, major : Cultural Anthropology.