Kebudayaan Dayak, Mengenal Daerah Asal Dayak Kanayatn Ambawang
Foto: Bersama perwakilan pemuda Dayak Lamoanak
Suku Dayak Kanayatn Ambawang adalah salah satu
subsuku Dayak yang berpindah dari tanah asal-usul mereka di daerah Lamoanak,
Lumut, dan Kaca’ di Kecamatan Menjalin dan Mempawah Hulu ke Kecamatan Sungai
Ambawang, Kabupaten Pontianak. Perpindahan tersebut terjadi kira-kira 350-400
tahun yang lalu. Keturunan mereka di Sungai Ambawang sekarang ini diperkirakan
sudah empat atau lima keturunan. Mereka berimigrasi secara bertahap.
Perpindahan mereka untuk pertama kalinya disebabkan oleh peristiwa ”Tambang
Emas” di Kampung Lamoanak. Ceritanya, kira-kira 350-400 tahun yang lalu,
orang-orang Dayak di sepanjang aliran Sungai Mampawah berada di bawah kekuasaan
Patih Patinggi. Patih Patinggi ini merupakan saudara kandung dari Patih
Gumantar.
Pada waktu itu, sekitar Lamoanak
merupakan tempat pertambangan emas yang dikelola oleh orang-orang Cina Kek atau
Hakka. Orang-orang Cina selalu merekrut tenaga kerja dari tempat lain. Mereka
cenderung mengabaikan tenaga kerja di sekitar tempat mereka menambang emas. Di
samping itu, cara pemerolehan tanah untuk lokasi pertambangan juga cenderung
memakai cara pemaksaan dan kekerasan. Belum lagi, pertambangan emas ini juga
merusak lingkungan mereka. Dengan demikian, orang-orang Lamoanak benar-benar
terganggu. Kehidupan mereka tidak menentu. Oleh karena itu, mereka berusaha
mempertahankan hak milik mereka atas tanah dan bahan tambang yang ada di
dalamnya. Namun, pada masa itu mereka tidak mengetahui caranya. Mereka juga
belum mempunyai persatuan dan rasa solidaritas yang tinggi. Mereka menggunakan
salah satu cara yang hanya diketahui oleh mereka sendiri, yaitu mencoba
menakut-nakuti orang-orang Cina di pertambangan emas tersebut dengan cara
menjadi hantu. Mula-mula mereka memakai topeng dengan coreng-moreng di wajah
mereka. Trik lainnya adalah melumuri tubuh mereka dengan getah kayu dan
kemudian berlarian di bunga-bunga ilalang. Tentu saja hal ini membuat tubuh
mereka menjadi berbulu putih seperti hantu. Begitu orang Cina berlarian
ketakutan, maka emasnya diambil. Lama kelamaan, ketahuanlah taktik orang
Lamoanak ini.
Singkat cerita, orang-orang Cina
kemudian mengadakan pesta besar untuk membalas dendam. Mereka mengundang
orang-orang Lamoanak untuk berpesta makan dan minum. Minuman yang disajikan
adalah minuman yang beralkohol. Begitu orang Lamoanak mabuk arak dan teler tak
berdaya, maka dengan mudah mereka di potong. Namun ada juga yang sempat selamat
melarikan diri. Dalam pelarian ini, mereka sampai di sebuah sungai. Ketika
mereka sampai di sungai ini, mereka menjumpai sebuah kelapa hanyut terbawa air.
Kelapa ini diambil kemudian dikupas. Kemudian ada yang bertanya, ”Lemae malah
ia?” yang artinya ”Bagaimana membelahnya?” Sejak saat itulah sungai itu disebut
Sungai Malahia. Pendatang pertama inilah yang dinamakan Ambawang 20. Ada juga
yang disebut Ambawang 40, yaitu mereka yang berpindahan pada saat tahap
berikutnya.
Perpindahan selanjutnya dikenal dengan
nama Ambawang 40. Ceritanya, sesudah orang-orang Cina berselisih dengan
orang-orang Dayak, sebagian orang Dayak yang masih bertahan meminta pendapat
dari Patih Patinggi untuk mendamaikan dan menyelesaikan masalah tersebut.
Dibuatlah perdamaian. Ada keinginan dari orang Dayak untuk mendapatkan wilayah
yang baru. Apalagi, disertai keberhasilan perantauan pendahulu mereka maka gelombang
perpindahan ke wilayah Ambawang terus bertambah. Perpindahan terkini, kemudian
dilakukan oleh orang-orang Banyuke (Menyuke) dari wilayah Darit seperti Kampung
Mame’, Bagatukng, dan sekitarnya.
disadur melalui Sumber Berita: www.kebudayaan-dayak.org
Tidak ada komentar:
Posting Komentar