Kamis, 09 Februari 2017

Mengenal Daerah Asal Dayak Kanayatn Ambawang. Part 1



Kebudayaan Dayak, Mengenal Daerah Asal Dayak Kanayatn Ambawang


 Foto: Bersama perwakilan pemuda Dayak Lamoanak


 
Suku Dayak Kanayatn Ambawang adalah salah satu subsuku Dayak yang berpindah dari tanah asal-usul mereka di daerah Lamoanak, Lumut, dan Kaca’ di Kecamatan Menjalin dan Mempawah Hulu ke Kecamatan Sungai Ambawang, Kabupaten Pontianak. Perpindahan tersebut terjadi kira-kira 350-400 tahun yang lalu. Keturunan mereka di Sungai Ambawang sekarang ini diperkirakan sudah empat atau lima keturunan. Mereka berimigrasi secara bertahap. Perpindahan mereka untuk pertama kalinya disebabkan oleh peristiwa ”Tambang Emas” di Kampung Lamoanak. Ceritanya, kira-kira 350-400 tahun yang lalu, orang-orang Dayak di sepanjang aliran Sungai Mampawah berada di bawah kekuasaan Patih Patinggi. Patih Patinggi ini merupakan saudara kandung dari Patih Gumantar.
Pada waktu itu, sekitar Lamoanak merupakan tempat pertambangan emas yang dikelola oleh orang-orang Cina Kek atau Hakka. Orang-orang Cina selalu merekrut tenaga kerja dari tempat lain. Mereka cenderung mengabaikan tenaga kerja di sekitar tempat mereka menambang emas. Di samping itu, cara pemerolehan tanah untuk lokasi pertambangan juga cenderung memakai cara pemaksaan dan kekerasan. Belum lagi, pertambangan emas ini juga merusak lingkungan mereka. Dengan demikian, orang-orang Lamoanak benar-benar terganggu. Kehidupan mereka tidak menentu. Oleh karena itu, mereka berusaha mempertahankan hak milik mereka atas tanah dan bahan tambang yang ada di dalamnya. Namun, pada masa itu mereka tidak mengetahui caranya. Mereka juga belum mempunyai persatuan dan rasa solidaritas yang tinggi. Mereka menggunakan salah satu cara yang hanya diketahui oleh mereka sendiri, yaitu mencoba menakut-nakuti orang-orang Cina di pertambangan emas tersebut dengan cara menjadi hantu. Mula-mula mereka memakai topeng dengan coreng-moreng di wajah mereka. Trik lainnya adalah melumuri tubuh mereka dengan getah kayu dan kemudian berlarian di bunga-bunga ilalang. Tentu saja hal ini membuat tubuh mereka menjadi berbulu putih seperti hantu. Begitu orang Cina berlarian ketakutan, maka emasnya diambil. Lama kelamaan, ketahuanlah taktik orang Lamoanak ini.
Singkat cerita, orang-orang Cina kemudian mengadakan pesta besar untuk membalas dendam. Mereka mengundang orang-orang Lamoanak untuk berpesta makan dan minum. Minuman yang disajikan adalah minuman yang beralkohol. Begitu orang Lamoanak mabuk arak dan teler tak berdaya, maka dengan mudah mereka di potong. Namun ada juga yang sempat selamat melarikan diri. Dalam pelarian ini, mereka sampai di sebuah sungai. Ketika mereka sampai di sungai ini, mereka menjumpai sebuah kelapa hanyut terbawa air. Kelapa ini diambil kemudian dikupas. Kemudian ada yang bertanya, ”Lemae malah ia?” yang artinya ”Bagaimana membelahnya?” Sejak saat itulah sungai itu disebut Sungai Malahia. Pendatang pertama inilah yang dinamakan Ambawang 20. Ada juga yang disebut Ambawang 40, yaitu mereka yang berpindahan pada saat tahap berikutnya.
Perpindahan selanjutnya dikenal dengan nama Ambawang 40. Ceritanya, sesudah orang-orang Cina berselisih dengan orang-orang Dayak, sebagian orang Dayak yang masih bertahan meminta pendapat dari Patih Patinggi untuk mendamaikan dan menyelesaikan masalah tersebut. Dibuatlah perdamaian. Ada keinginan dari orang Dayak untuk mendapatkan wilayah yang baru. Apalagi, disertai keberhasilan perantauan pendahulu mereka maka gelombang perpindahan ke wilayah Ambawang terus bertambah. Perpindahan terkini, kemudian dilakukan oleh orang-orang Banyuke (Menyuke) dari wilayah Darit seperti Kampung Mame’, Bagatukng, dan sekitarnya.
 


disadur melalui Sumber Berita: www.kebudayaan-dayak.org



Tidak ada komentar:

Posting Komentar